“Suatu saat saya minta tolong pak Haryono agar buatkan beberapa
Rafael Haryono lahir di Sendangsono, 21 Pebruari 1947 dari keluarga sederhana. Ia semula dibawa oleh romo G Natabudyo pr ke
Suami dari Katarina Nurpini Dwiprihatin mengalami pergantian banyak romo selama ia menjadi koster, dan menurut Haryono setiap romo memiliki pembawaan masing-masing. Romo Natabudyo pr, romo Patmosepoera pr juga bapak Uskup romo Kardinal Darmojuwono menjadi rama-rama yang mengukir pengalaman pertamanya di Pastoran Katedral. Kehidupannya di sekitar romo-romo membuat ia menilai: ”Romo itu wakil Tuhan di dunia, maka kita harus menghormati beliau-beliau”. Demikian hormatnya ia kepada para romo, maka ketika menyebut romo yang sudah meninggal dunia didepan namanya ia selalu menggunakan kata swargi.
“Pengalaman saya paling membekas ketika bersama swargi romo Wiryo sebab beliaulah yang menunjuk saya untuk menggantikan koster lama sdr Naryanto” Sebagai koster Haryono sangat menjenangi pekerjaannya. Setiap hari ia sudah hadir di gereja pagi jam
Akhir- akhir ini aktifitas doa di Katedral meningkat, seperti adorasi untuk menghormati Sakramen Maha Kudus, yang diselenggarakan setiap bulan pada Jumat pertama dan berlangsung sepanjang hari. Seperti itu maka ia menunggui sampai acara itu selesai. “Kalau Katedral tidak dipakai maka biasanya saya juga ikut membersihkan gereja, atau pekerjaan apa saja yang diminta romo atau anggota dewan paroki. Bagi saya, semua permintaan untuk melakukan pekerjaan apa saja, saya jawab inggih. Saya dipanggil untuk bekerja di rumah Tuhan maka saya tidak mau mengecewakan romo atau anggota dewan. Dengan modal itu saya bisa bekerja sampai usiaku mencapai 60 tahun”
Bagi Haryono bekerja di rumah Tuhan yang suci dan pandangannya bahwa Romo adalah wakil Tuhan membuat ia bekerja dengan senang, sekuat tenaga, disiplin dan menomer satukan bekerja di rumah Tuhan. Pandangannya tentang hidupm ini sederhana saja: “Saya percaya kalau kerja dengan tekun pasti Tuhan memberi berkah dan kesehatan kepada saya dan keluarga. Sebagai koster, seluruh waktu kerja saya di rumah Tuhan. Saya menerima uang pensiun Rp 350.000 dan tambah kontrak Rp. 520.000 dua tahun terakhir. Memang untuk ukuran orang lain uang sejumlah itu sedikit namun bagi saya, sudah cukup. Saya percaya kepada Tuhan, adining sing kuasa, sithik cukup akeh kurang. Sedikitpun saya cukup-cukupkan, nanti kalau banyak malah bingung. Banyak kurang sedikitpun cukup. Tuhan memberikan upah yang cukup kepada yang bekerja di ladang Tuhan” Sebagai manusia ia terkadang juga merasakan beratnya
mengelola keuangan itu, khususnya bila anak-anak minta biaya untuk melanjutkan sekolah atau bersamaan harus bayar uang sekolah. “Anak- anak sudah saya didik untuk mandiri, mereka membuat
Haryono memiliki 5 orang anak, tiga laki dan dua orang perempuan. Untuk ukuran keluarga mapanpun, saat ini bukan pekerjaan gampang untuk mengatur keuangan keluarga. Biaya besar untuk hidup maupun pendidikan anak membuat banyak keluarga kawatir. Suatu saat ia sangat membutuhkan uang karena anaknya sudah mendaftarkan namanya untuk kuliah di AKIN, pada hal ia tidak memiliki uang sebanyak yang diminta. Dalam keadaan bingung ia mencoba mendatangi alm romo Wiryo, namun ia mendapat jawaban bahwa mengutang pada romo tidak boleh:”swargi romo Wiryo mengatakan, pak Har, nyuwun sewu, kene ini ora ono utang-utangan. Mangkeh utang ora nyambut gawe malah mikirke utang. Saya jawab, inggeh romo kulo nyuwun berkah pangestunipun mawon romo. Mugi-mugi mawon kulo saget pikantuk arta saking sanesnipun. Dalem nyuwun berkat pangestunipun mawom romo. Hati saya menangis ketika pulang ke rumah tidak membawa uang. Lha piye nang wes tak golek utangan ora entuk jawab saya. Dalam situasi yang mendesak dan bingung, saya mengambil jalan pintas. Saya bingung bagaimana caranya supaya anak saya bisa melanjutkan sekolah. Sebagai orang tua saya harus bertanggung jawab. Maka terjadilah, apa yang selama ini saya jaga, saya langgar prinsip hidup saya, yaitu berjudi dengan membeli SDSB. Waktu itu rasanya sakit sekali, saya sampai menangis karena saya melanggar prinsip saya. Uang Rp 1.000. yang ada saku saya beli kupon putih. Mungkin sudah berkah bagi anakku, ternyata saya tembus 4 angka dan mendapatkan Rp 2 juta”
Sampai disini Pak Haryono menitikkan air matanya, beberapa saat beliau tidak mengucapkan kata-kata. Beban berat sebagai seorang ayah, terharu akan pertolongan yang datang, dan panggilan sebagai pekerja di ladang Tuhan, semuanya menyatu bergejolak dalam dirinya. Ternyata Tuhan maha pengasih, memberi dengan cara Nya sendiri.
Antonius Aris Nugroho anak pertama, tamatan kimia. Ia rajin berdoa Novena di gua Kerep Ambarawa, dan pada suatu saat ia melihat banyak sisa lilin, ia minta kepada koster agar bisa mengumpulkan sisa-sisa lilin itu. Lewat proses daur ulang pakai kapur Padalarang, lilin itu menjadi putih kembali, kemudian dicetak pakai gelas dan dijual kembali ke tempat doa, seperti gua Kerep. “Pernah dikirimi 1 ton lebih hasil pengumpulan oleh koster, ya anak saya membayar. Puji Tuhan lilinnya laris sekali, bahkan pernah jam 11 malam lilinnya habis, saya antar pakai motor ke Ambarawa. Saya percaya Tuhan akan memberi upah, karena saya bekerja di ladang Tuhan. Sesudah selesai AKIN anak saya kerja di Pabrik kertas di Sidoardjo sambil melanjutkan kuliah di ITAT, saya bersyukur Tuhan demikian murah hati kepada keluarga saya” pengakuannya.
Anak nomer dua Benetictus Bimo Pitertika lulusan UNS Solo sudah bekerja di
Pada waktu pengangguran terjadi dimana-mana, kelima anak Haryono malah sudah bekerja semua. Ia mengakui tidak berani minta bantuan kepada umat agar anak-anaknya diberi pekerjaan. Anak-anaknya mencari sendiri pekerjaan lewat iklan dan buku telepon. “Saya tidak berani minta tolong ke umat, takut nanti kalau anak saya tidak bekerja sesuai harapan orang, malah merepotkan. Kini saya sudah dikaruniai 4 cucu, salah seorangnya sudah kelas 6 SD. Sekarang saya mau menikmati pensiun sambil meneruskan membuat
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” Mateus
Ketika saya sedang mewawancarai Bapak Haryono jam menunjukan jam 12 siang, kami berada di balkon koor (dulu). Ia beranjak untuk membunyikan lonceng angelus. Saya melihat ia menarik, tetap bertenaga sepertimketika muda dahulu, membayangkan selama 38 tahun ia setia membunyikan lonceng ini. Menarik lonceng ini pulalah yang pernah membuat di terjatuh dari ketinggian sehingga kepalanya jedera.
Suami dari Katarina Nurpini Dwiprihatin (menikah pada 12 Desember 1972, dan tinggal di Dorowati Dalam No 8 Semarang) memiliki berbagai kenangan selama bertugas sebagai koster. Kenangan yang paling mengesankan adalah mengurus pengeras suara Karedral. “Suatu saat Swargi romo Wiryo sambil membayar gaji mengatakan, pak Har mik e bengung, tak potong
Rafael Haryono, sungguh menyadari kesejatian hidup sebagai pekerja di ladang Tuhan. Ia percaya bahwa sikap romo (wakil Tuhan) kepadanya merupakan kebenaran yang diterima dengan tulus dan rendah hati. Demikianlah ketika ia hendak menikah. “Swargi romo Padmoseputra pr, baru mengijinkan saya pulang jam 12 siang, padahal ijab saya jam 16:00.
Tiga puluh delapan tahun ia berada di lingkungan Gereja, khususnya dekat tabernakel. Ia sering berdoa sambil membersihkan tabernakel: “Tuhan terima kasih karena saya mendapat kesempatan untuk bekerja di rumah Tuhan ini. Berkatilah keluarga saya, berilah kami kesehatan Tuhan karena Engkau sumber penyembuhan. Tuhan sejak awal sampai akhir saya bekerja disini. Tuhan, saya berdoa juga untuk semua umat yang sudah berbuat baik kepada keluarga saya, semoga Tuhan memberikan berkat yang berlimpah kepada mereka” akhir wawancara. (Martin T. Teiseran- prodiakon Gereja Randusari Semarang).
Komentar
Berkah Dalem.
Kebanyakan orang tak tahu apa yang jadi kehendak Tuhan Allah melalui apa yang terjadi dalam dirinya. "Nrimo". Itulah kata yang amat sangat sukar untuk dilakukan dan diterima oleh nalar. Tapi karena kedekatan dengan Tuhan dan penyerahan diri sepenuhnya maka hal itu tak menjadi persoalan bagi seorang koster. Salam Damai.