Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2008

Om Loen telah meninggal dunia

Bapak Yosef Tirto (Om Loen) telah meninggal dunia. Hari Senin jam 01:00 dini hari. Bapak berusia 87 tahun ini menjadi orang tertua yang meninggal dunia di lingkungan Pekunden. Tanggal 13 Januari saya terakhir mengantarkan Sakramen Mahakudus (SMK) ia terbaring lemah di tempat tidur dan disampingnya ada sebotor oksigen, namun waktu itu tidak digunakan karena Om Loen nampaknya cukup sehat. Minggu satu hari sebelum meninggal dunia teman prodiakon mengantarkan SMK kepada om Loen. Sudah beberapa kali saya mengantarkan SMK, beliau baru dibaptis belum setahun. Setengah tahun lalu ia mengalami serangan jantung ketika sang isteri tercinta sedang dibaringkan di rumah jenazah saat itulah menerima sakramen permandian. Lama saya menyenal orang tua ini, beberapa sebelum isterinya meninggal dunia ia masih aktif jalan pagi, nyaris setiap pagi ia berjalan pagi dari Pekunden, Simpang 5 sampai Polda dan kemudian pulang lewat pemakaman Bergota Semarang. Kebiasaan itu membuat beliau sehat, sehingga

Merayakan Tahun Baru

Ibu ibu lanjut usia ini berdoa menyanyi ketika menerima Sakramen Mahakudus. 13 Januari 2008.

Pengabdian Seorang Koster

“Suatu saat saya minta tolong pak Haryono agar buatkan beberapa rosario . Setelah selesai, ia menyerahkan kepada saya sambil mengatakan maaf romo Bi, mungkin rosarionya kurang rapih. Waktu saya tanya biayanya berapa ia menjawab 'sembah bekti mawon romo” ungkap romo H Subiyanto. DW. Pr pada saat merayakan Ekaristi Kudus bulanan untuk karyawan Katedral. Bertepatan pula, hari itu Bapak Rafael Haryono pension sebagai koster Katedral KA Semarang. Hal yang sama juga pernah dialami romo Sukardi pr, romo Paroki Randusari Semarang. Ia hanya minta dibayar dengan doa saja” demkian rama Soebiyanto mengawali khotbahnya. Rafael Haryono lahir di Sendangsono, 21 Pebruari 1947 dari keluarga sederhana. Ia semula dibawa oleh romo G Natabudyo pr ke Semarang . Mulai bekerja sebagai pegawai di pasturan pada 30 Desember 1969 dan, baru 2 tahun kemudian ditunjuk menggantikan koster lama yang mengundurkan diri. Suami dari Katarina Nurpini Dwiprihatin mengalami pergantian banyak r

Ibu Yang Luar Biasa

Juga masih di wilayah Pekunden saya menemukan satu lagi pelajaran yang berharga. Seorang ibu, ketika masih bayi, ia terlahir tanpa kulit yang kuat. Warna kulitnya kemerahan, sehingga orang tuanya sungguh memelas (kasihan) memandangnya. Berbagai upaya di cari agar sang bayi bisa berbaring dengan tenang. Ibunya merasanya betapa sakitnya, kulit itu menyentuh kain. Maka dipakailah daun pisang, sebagai alas. Sepanjang usia balita sampai dewasa ia dimanja, semua keinginannya yang tidak diiakan orang lain, artinya orang itu, bukan pihakku. Suaminya seorang dominan dalam keluarga, sehingga menjadi kebalikan ketika ia masih dalam naungan orang tuanya. Pasutri (ME=pasangan suami isteri) ini memiliki sepasang anak. Anak-anak dibesarkan, disekolahkan sampai selesai. Setelah tamat kulian, anak pertama seorang putri bekerja di Jakarta. Orang tua yang penuh perhatian dan kasih ini lalu membelikan sebuah rumah di Jakarta. Dalam perjalanan waktu ia menemukan pasangannya dan tak lama kemudian berencana