Langsung ke konten utama

Pengabdian Seorang Koster

“Suatu saat saya minta tolong pak Haryono agar buatkan beberapa rosario. Setelah selesai, ia menyerahkan kepada saya sambil mengatakan maaf romo Bi, mungkin rosarionya kurang rapih. Waktu saya tanya biayanya berapa ia menjawab 'sembah bekti mawon romo” ungkap romo H Subiyanto. DW. Pr pada saat merayakan Ekaristi Kudus bulanan untuk karyawan Katedral. Bertepatan pula, hari itu Bapak Rafael Haryono pension sebagai koster Katedral KA Semarang. Hal yang sama juga pernah dialami romo Sukardi pr, romo Paroki Randusari Semarang. Ia hanya minta dibayar dengan doa saja” demkian rama Soebiyanto mengawali khotbahnya.

Rafael Haryono lahir di Sendangsono, 21 Pebruari 1947 dari keluarga sederhana. Ia semula dibawa oleh romo G Natabudyo pr ke Semarang. Mulai bekerja sebagai pegawai di pasturan pada 30 Desember 1969 dan, baru 2 tahun kemudian ditunjuk menggantikan koster lama yang mengundurkan diri.

Suami dari Katarina Nurpini Dwiprihatin mengalami pergantian banyak romo selama ia menjadi koster, dan menurut Haryono setiap romo memiliki pembawaan masing-masing. Romo Natabudyo pr, romo Patmosepoera pr juga bapak Uskup romo Kardinal Darmojuwono menjadi rama-rama yang mengukir pengalaman pertamanya di Pastoran Katedral. Kehidupannya di sekitar romo-romo membuat ia menilai: ”Romo itu wakil Tuhan di dunia, maka kita harus menghormati beliau-beliau”. Demikian hormatnya ia kepada para romo, maka ketika menyebut romo yang sudah meninggal dunia didepan namanya ia selalu menggunakan kata swargi.

“Pengalaman saya paling membekas ketika bersama swargi romo Wiryo sebab beliaulah yang menunjuk saya untuk menggantikan koster lama sdr Naryanto” Sebagai koster Haryono sangat menjenangi pekerjaannya. Setiap hari ia sudah hadir di gereja pagi jam 04: 30, untuk membukakan pintu, membunyikan lonceng dan mempersiapkan perayaan ekaristi pada jam 05:30. Bila tidak ada aktifitas lain seperti pemberkatan pernikahan atau kegiatan- kegiatan umat seperti persekutuan doa dan sebagainya maka jam dua siang ia sudah bisa pulang untuk istirahat.

Akhir- akhir ini aktifitas doa di Katedral meningkat, seperti adorasi untuk menghormati Sakramen Maha Kudus, yang diselenggarakan setiap bulan pada Jumat pertama dan berlangsung sepanjang hari. Seperti itu maka ia menunggui sampai acara itu selesai. “Kalau Katedral tidak dipakai maka biasanya saya juga ikut membersihkan gereja, atau pekerjaan apa saja yang diminta romo atau anggota dewan paroki. Bagi saya, semua permintaan untuk melakukan pekerjaan apa saja, saya jawab inggih. Saya dipanggil untuk bekerja di rumah Tuhan maka saya tidak mau mengecewakan romo atau anggota dewan. Dengan modal itu saya bisa bekerja sampai usiaku mencapai 60 tahun”

Bagi Haryono bekerja di rumah Tuhan yang suci dan pandangannya bahwa Romo adalah wakil Tuhan membuat ia bekerja dengan senang, sekuat tenaga, disiplin dan menomer satukan bekerja di rumah Tuhan. Pandangannya tentang hidupm ini sederhana saja: “Saya percaya kalau kerja dengan tekun pasti Tuhan memberi berkah dan kesehatan kepada saya dan keluarga. Sebagai koster, seluruh waktu kerja saya di rumah Tuhan. Saya menerima uang pensiun Rp 350.000 dan tambah kontrak Rp. 520.000 dua tahun terakhir. Memang untuk ukuran orang lain uang sejumlah itu sedikit namun bagi saya, sudah cukup. Saya percaya kepada Tuhan, adining sing kuasa, sithik cukup akeh kurang. Sedikitpun saya cukup-cukupkan, nanti kalau banyak malah bingung. Banyak kurang sedikitpun cukup. Tuhan memberikan upah yang cukup kepada yang bekerja di ladang Tuhan” Sebagai manusia ia terkadang juga merasakan beratnya

mengelola keuangan itu, khususnya bila anak-anak minta biaya untuk melanjutkan sekolah atau bersamaan harus bayar uang sekolah. “Anak- anak sudah saya didik untuk mandiri, mereka membuat rosario, jual barang bekas sampai menjual koran di persimpangan jalan untuk biaya kuliah atau untuk bayar kos. Pernah suatu kali anak saya Tony minta uang untuk bayar sekolah, pada hal saya tidak punya uang. Berkat Tuhan, ternyata bersamaan dengan itu ada pesta perpisahan sekolah di gedung Sukasari dimana ada banyak gardus bekas tempat makanan. Yo nak yo nduk, kita kumpul kardus bekas. Mas Tony arep bayar sekolah, ayo yo ngumpulke kardus bekas kangge bayar sekolah ee akirnya dengan menjual gardus bekas itu kami bisa melunasi uang sekolah mas Tony” demikian ia menanggapi situasi sulit dengan entengnya.

Haryono memiliki 5 orang anak, tiga laki dan dua orang perempuan. Untuk ukuran keluarga mapanpun, saat ini bukan pekerjaan gampang untuk mengatur keuangan keluarga. Biaya besar untuk hidup maupun pendidikan anak membuat banyak keluarga kawatir. Suatu saat ia sangat membutuhkan uang karena anaknya sudah mendaftarkan namanya untuk kuliah di AKIN, pada hal ia tidak memiliki uang sebanyak yang diminta. Dalam keadaan bingung ia mencoba mendatangi alm romo Wiryo, namun ia mendapat jawaban bahwa mengutang pada romo tidak boleh:”swargi romo Wiryo mengatakan, pak Har, nyuwun sewu, kene ini ora ono utang-utangan. Mangkeh utang ora nyambut gawe malah mikirke utang. Saya jawab, inggeh romo kulo nyuwun berkah pangestunipun mawon romo. Mugi-mugi mawon kulo saget pikantuk arta saking sanesnipun. Dalem nyuwun berkat pangestunipun mawom romo. Hati saya menangis ketika pulang ke rumah tidak membawa uang. Lha piye nang wes tak golek utangan ora entuk jawab saya. Dalam situasi yang mendesak dan bingung, saya mengambil jalan pintas. Saya bingung bagaimana caranya supaya anak saya bisa melanjutkan sekolah. Sebagai orang tua saya harus bertanggung jawab. Maka terjadilah, apa yang selama ini saya jaga, saya langgar prinsip hidup saya, yaitu berjudi dengan membeli SDSB. Waktu itu rasanya sakit sekali, saya sampai menangis karena saya melanggar prinsip saya. Uang Rp 1.000. yang ada saku saya beli kupon putih. Mungkin sudah berkah bagi anakku, ternyata saya tembus 4 angka dan mendapatkan Rp 2 juta”

Sampai disini Pak Haryono menitikkan air matanya, beberapa saat beliau tidak mengucapkan kata-kata. Beban berat sebagai seorang ayah, terharu akan pertolongan yang datang, dan panggilan sebagai pekerja di ladang Tuhan, semuanya menyatu bergejolak dalam dirinya. Ternyata Tuhan maha pengasih, memberi dengan cara Nya sendiri.

Antonius Aris Nugroho anak pertama, tamatan kimia. Ia rajin berdoa Novena di gua Kerep Ambarawa, dan pada suatu saat ia melihat banyak sisa lilin, ia minta kepada koster agar bisa mengumpulkan sisa-sisa lilin itu. Lewat proses daur ulang pakai kapur Padalarang, lilin itu menjadi putih kembali, kemudian dicetak pakai gelas dan dijual kembali ke tempat doa, seperti gua Kerep. “Pernah dikirimi 1 ton lebih hasil pengumpulan oleh koster, ya anak saya membayar. Puji Tuhan lilinnya laris sekali, bahkan pernah jam 11 malam lilinnya habis, saya antar pakai motor ke Ambarawa. Saya percaya Tuhan akan memberi upah, karena saya bekerja di ladang Tuhan. Sesudah selesai AKIN anak saya kerja di Pabrik kertas di Sidoardjo sambil melanjutkan kuliah di ITAT, saya bersyukur Tuhan demikian murah hati kepada keluarga saya” pengakuannya.

Anak nomer dua Benetictus Bimo Pitertika lulusan UNS Solo sudah bekerja di Semarang. Nomer tiga Cisilia Siska Pungkisari, selesai pendidikan lalu nikah dan ikut suaminya yang bekerja di PLTU Paiton. Laki nomer empat Eduard Rudy Irwantono, Ekonomi Sugiyopranoto dan perempuan Eralia Estinikan Pertiwi lulusan akuntansi juga sudah bekerja.

Pada waktu pengangguran terjadi dimana-mana, kelima anak Haryono malah sudah bekerja semua. Ia mengakui tidak berani minta bantuan kepada umat agar anak-anaknya diberi pekerjaan. Anak-anaknya mencari sendiri pekerjaan lewat iklan dan buku telepon. “Saya tidak berani minta tolong ke umat, takut nanti kalau anak saya tidak bekerja sesuai harapan orang, malah merepotkan. Kini saya sudah dikaruniai 4 cucu, salah seorangnya sudah kelas 6 SD. Sekarang saya mau menikmati pensiun sambil meneruskan membuat rosario” ujar Haryono.

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” Mateus 6:33. Ia menyinggung Injil Mateus ketika ditanya soal pekerjaan sebagai koster. Lebih dari tiga puluh delapan tahun ia bekerja di sekitas Katedral, maka devosinya juga luar biasa. “Saya selalu berdoa, ketika membersihkan Tabernakel. Dengan kain lap yang sudah saya kasi braso, tangan saya menyentuh, berdoa dengan keharuan dan rasa syukur. Tuhan Yesus, bantulah saya dan jaga kesehatan kelurga saya. Saya hanya membersihkan luarnya saja, tidak boleh bagian dalam tabernakel yang sakral. Pekerjaan Itu hanya boleh oleh romo, rohaniwan maupun prodiakon yang mendapat surat pengangkatan dari Bapak Uskup. Saya percaya Peryaan Ekaristi itu mujizat Tuhan, karena roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus” Maka ketika konsekrasi tiba, ia berlutut dengan tangan terkatup di dada, menyembah Tuhan Yesus.

Ketika saya sedang mewawancarai Bapak Haryono jam menunjukan jam 12 siang, kami berada di balkon koor (dulu). Ia beranjak untuk membunyikan lonceng angelus. Saya melihat ia menarik, tetap bertenaga sepertimketika muda dahulu, membayangkan selama 38 tahun ia setia membunyikan lonceng ini. Menarik lonceng ini pulalah yang pernah membuat di terjatuh dari ketinggian sehingga kepalanya jedera.

Suami dari Katarina Nurpini Dwiprihatin (menikah pada 12 Desember 1972, dan tinggal di Dorowati Dalam No 8 Semarang) memiliki berbagai kenangan selama bertugas sebagai koster. Kenangan yang paling mengesankan adalah mengurus pengeras suara Karedral. “Suatu saat Swargi romo Wiryo sambil membayar gaji mengatakan, pak Har mik e bengung, tak potong lima ribu, inggih monggo romo jawab saya. Pernah tahun 1982 karena kena petir, mixer pengeras suara terbakar, swargi romo Djaja Siswaya minta saya mengganti, inggih kulo derek romo jawab saya. Biayanya habis Rp 44 ribu, saya tanggung setengahnya, jadi sisanya Rp 3000, yang saya bawa pulang ke rumah”. Tidak sedikitpun tampak ia mengeluh. Sampai saat sebelum pensiun, ia merangkap sebagai koster dan operator pengeras suara. Sepanjang ada misa khususnya pada hari Minggu dan hari raya.

Rafael Haryono, sungguh menyadari kesejatian hidup sebagai pekerja di ladang Tuhan. Ia percaya bahwa sikap romo (wakil Tuhan) kepadanya merupakan kebenaran yang diterima dengan tulus dan rendah hati. Demikianlah ketika ia hendak menikah. “Swargi romo Padmoseputra pr, baru mengijinkan saya pulang jam 12 siang, padahal ijab saya jam 16:00. Ada umat yang mau ijab di Gereja. Lain kali pernah jari tangan kanan saya kejepit pintu gerbang gereja. Pintu tertutup karena ada hujan angin kencang. Selama 30 menit saya tidak bisa melepaskan jari dari jepitan tersebut. Untung datang pak lurah dari Sampangan, ia mencongkel pakai drai baru jari tangan saya lepas. Kejadian demi kejadian yang saya alami membuat saya semakin percaya kepada Tuhan, bahwa Ia selalu melindungi saya, karena saya bekerja di ladangNya”

Tiga puluh delapan tahun ia berada di lingkungan Gereja, khususnya dekat tabernakel. Ia sering berdoa sambil membersihkan tabernakel: “Tuhan terima kasih karena saya mendapat kesempatan untuk bekerja di rumah Tuhan ini. Berkatilah keluarga saya, berilah kami kesehatan Tuhan karena Engkau sumber penyembuhan. Tuhan sejak awal sampai akhir saya bekerja disini. Tuhan, saya berdoa juga untuk semua umat yang sudah berbuat baik kepada keluarga saya, semoga Tuhan memberikan berkat yang berlimpah kepada mereka” akhir wawancara. (Martin T. Teiseran- prodiakon Gereja Randusari Semarang).

Komentar

Stanley Sutrisno mengatakan…
Blog-nya bagus, Pak.
Berkah Dalem.
Sandy mengatakan…
Hebat.
Kebanyakan orang tak tahu apa yang jadi kehendak Tuhan Allah melalui apa yang terjadi dalam dirinya. "Nrimo". Itulah kata yang amat sangat sukar untuk dilakukan dan diterima oleh nalar. Tapi karena kedekatan dengan Tuhan dan penyerahan diri sepenuhnya maka hal itu tak menjadi persoalan bagi seorang koster. Salam Damai.
tonieprasetyana mengatakan…
Memang luar biasa kehidupan pak Har. Kebetulan saya kenal beliau sudah sejak lama di katedral. Saya pernah menjadi misdinar sehingga sering bertemu dengan Pak Har. Bahkan saya ingat kalau selesai melayani misa harian dibagi roti oleh Pak Har untuk sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Itu terjadi tahun 1988-1995.

Postingan populer dari blog ini

Kismis Dry Gin Obat Lutut Sakit

Tiga tahun lalu saya merasa ada yang tidak beres pada lutut.Pikirku paling setelah digoyang goyang akan beres. Ketika berada di Purwokerto, saya jalan pagi, semakin jauh semakin sakit akhirnya trauma tidak berani jalan pagi lagi. Setahun lebih saya tidak berani jalan pagi. Sampai oktober 2010 ada email dari Bapak FX Benny Setiawan.  From: Komunikasi_KAS@yahoogroups.com [mailto:Komunikasi_KAS@yahoogroups.com] On Behalf Of FX. Benny Setiawan Sent: Thursday, October 28, 2010 12:42 PM To: Komunikasi_KAS@yahoogroups.com Subject: [Kom-KAS] Info kesehatan... Resep manjur untuk rheumatik.  Teman saya baru pulang dari berjalan-jalan, bercerita tentang teman serombongan yang menggunakan resep ini, hasilnya sangat bagus. Sekarang dirinya tidak perlu makan obat glucosamine lagi, bahkan berhenti makan obat osteoporosis.  Saya juga pernah membaca di Harian Shi Jie Ri Bao ada orang menulis tentang kesaksian akan keberhasilan resep ini. Secara khusus saya mencari data di jaringan maya, tern

Pengabdian Seorang Koster

“Suatu saat saya minta tolong pak Haryono agar buatkan beberapa rosario . Setelah selesai, ia menyerahkan kepada saya sambil mengatakan maaf romo Bi, mungkin rosarionya kurang rapih. Waktu saya tanya biayanya berapa ia menjawab 'sembah bekti mawon romo” ungkap romo H Subiyanto. DW. Pr pada saat merayakan Ekaristi Kudus bulanan untuk karyawan Katedral. Bertepatan pula, hari itu Bapak Rafael Haryono pension sebagai koster Katedral KA Semarang. Hal yang sama juga pernah dialami romo Sukardi pr, romo Paroki Randusari Semarang. Ia hanya minta dibayar dengan doa saja” demkian rama Soebiyanto mengawali khotbahnya. Rafael Haryono lahir di Sendangsono, 21 Pebruari 1947 dari keluarga sederhana. Ia semula dibawa oleh romo G Natabudyo pr ke Semarang . Mulai bekerja sebagai pegawai di pasturan pada 30 Desember 1969 dan, baru 2 tahun kemudian ditunjuk menggantikan koster lama yang mengundurkan diri. Suami dari Katarina Nurpini Dwiprihatin mengalami pergantian banyak r

Bedah Buku Biografi Romo Stanislaus Sutopanitro Pr

Suasana bedah buku, dihadiri umat Katolik Kelapa Gading. Dihadiri oleh Prof Robert Lawang. Aluinanto Sandjojo, sponsor penulisan,  menyerahkan buku kepada Romo Sutopaniro.  Romo Sutopanitro menyerahkan buku kepada Pastor Paroki Anton Gunadi MSF.  Romo Anton menyerahkan kepada Pak Adi, ketua panitya 50 tahun imamat RD Sutopanitro   Suster Vincentio CB,kakak RD Sutopanitro.  Minta tanda tangan penulis.  RD Sutopanitro menanda tangani buku.  RD Simon Tjahjadi menjelaskan posisi RD Sutopanitro pada masa 1965 dan seterusnya, dan akan menerbitkan buku yang lebih ke sosial politik.  Eka Budianto, mantan penyiar BBC, dengan lihai membawa bedah buku ini.  Inilah kepuasana saya sebagai penulis, memiliki hubungan yang khusus dengan narasumber.  Foto-foto ini diambil oleh Rijanto Adjie dengan amat tepat dan cantik menggambarkan hubungan saya dengan Romo Sutopanitro pr. Inilah kebahagiaan yang saya dapat, jawaban kepada Mario seorang