Langsung ke konten utama

Masa Kecilku Keluarga dan Bangku Merah. Bagian I dari buku.

 

Masa Kecilku Keluarga dan Bangku Merah

 

Sebuah foto yang dibuat pada tahun 1948.

 

Baris depan: Ji Boa, Kiu Jun Hean, Kiu Mie Charles Manek, ji  Lan.

Belakang: Ji Cici, Ku Abu Moy, Mama Mea saya dalam gendongan po Pok.

 

Bangku merah adalah sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu merah telah menjadi tanda-tanda perubahan zaman dalam keluargaku. Mengukir kenangan akan masa kecilku yang selalu membangkitkan kegembiraan dan kesedihan. Papaku menyayangi saya tetapi ia tetap tegas dalam mendidik saya agar disiplin, bersikap jujur. Papa juga, seorang guru yang memberi contoh seperti apa sikap rajin. Papa menyapu membersihkan halaman, mencuci baju kaosnya sendiri hingga putih bersih, menata barang dagangan dengan rapi dan suka memperbaiki barang barang yang sudah rusak. Rendah hati dan menanamkan tentang pentingnya  integritas diri, satu kata dalam perbuatan.  Ia menyayangi saya, maka saya pun merasa seperti terbang dari bintang yang satu ke bintang yang lain dan membawa pulang sinar bulan di dalam guci karena keriangan jiwaku. Demikian pula dengan Mamaku yang menberi contoh sebagai seorang Mama yang rendah hati, rajin dan merawat kami anak-anak dengan kasih berlimpah. Terima kasih almarhum Papa Arakat Liem Wie Seong (Blasius Umriso Teiseran) 22 September 1922- 10 Februari 1989 dan, almarhuma Mama Mea Tan Woe Nio (Wilhelmina  Bitinberek) 2 April 1926-14 Oktober 2011, sekarang saya menjadi tegar penuh percaya diri.  (Yogyakarta 22 December 1989)..

 

Papa dan Mamaku

 

Masa kecil di Halilulik.

Saya lahir 22 Agustus 1948 di Atambua, namun tidak ada bayangan masa kanak kanak di Atambua, karena pada tahun 1950 kami sekeluarga sudah pindah ke Halilulik. Masa kecil yang kuingat hanya rumah di Halilulik yang dibangun sekitar tahun 1950 dan, yang sering masih datang dalam mimpiku. Ross, Imelda Teiseran lahir di Atambua pada 31 Januari 1950 dan Nona, Martha Teiseran atau suster Marilaeta, SSpS lahir di Halilulik pada 11 November 1951.

Ci Fi (Maria Gertrudis Teiseran, 22 Desember 1943) dan Ros (Imelda Teiseran, 31 Januari 1950) serta Nona (Marilaeta Liem SSpS, 11 November 1952) menunjukan bahwa rumah di  Halilulik baru selesai dibangun tahun 1950. Sejak saat itulah sebuah kursi panjang diletakan di sebelah kiri rumah, kusebut “kursi merah”. Kursi ini pulalah yang menjadi tanda-tanda zaman keluarga kami bagiku.

Dari Halilulik pindah ke Kiupasang dan kemudian beberapa kali pindah rumah di Oelolok. Kalau saja ia bisa berbicara, maka banyak kisah tentang suasana batin yang sukacita dan hati yang diliputi kesedihan karena kemiskinan dan kematian anggota keluargaku. Sampai sekarangpun bangku merah masih ada di rumah Oelolok. Kalau kududuki ketika pulang Oelolok, saya langsung membayangkan masa kecilku di Halilulik. Kalau ia bisa bercerita maka ia  akan beriterakan panjang lebar tentang masa kecil saya yang singkat bersama Papa dan Mama serta semua saudara. Memang saya tidak lama bersama keluargaku, karena lebih lama tinggal di Kefamenanu, Atambua, Muntilan dan Solo, Jogja, Semarang di Jawa maupun di Nenuk.

Bangku merahku, sungguh kasihan karena kemungkinan, kaulah satu satunya saksi bisu yang masih tinggal selain sebuah mesin jahit tua merk Singer peninggalan Apo Tan Fie Moy sebagai kenang-kenangan bagi  Papaku Arakat. Keduanya masih ada di Oelolok. Bangku merah, engkau akan kuajak mengenang kembali masa kecilku di Halilulik. Yah engkaulah yang sering menyaksikan saya menangis, tertawa, jengkel, tegang dan senang ketika  mengisi masa kecilku yang beraneka ragam. Tentang pertama kali menghisap rokok, mencuri uang dari laci, makan nasi goreng mamaku.  Kenangan paling lama yang bisa saya ingat adalah seekor kuda putih yang berpostur besar yang menjadi kebanggaan papa. Sore-sore Papa berolahraga dengan menunggangi kuda itu sering kali saya ditempatkan didepan Papa. Perasaanku sungguh bangga. Mungkin usiaku waktu itu baru 4 atau 5 tahun. Kuda ini pula yang menjadi tunggangan Papa ke Atambua.

Terjadi hal yang membuat Papa sedih sekali karena kuda putih ini dicuri orang. Saya masih ingat, menjelang subuh, saya sedang di tempat tidur ada suara kaki kuda dengan cepat meninggalkan halaman belakang rumah. Kami semua kaget. Berhari-hari Papa mencarinya, akhirnya Papa mengatakan pasti sudah dibawa melewati perbatasan dan masuk ke wilayah Timor Portugis.

Di belakang rumah ada sebuah pohon kemiri besar, tidak jauh dari situ ada pagar menjadi batas pekarangan dengan Om Yosef. Kaka Josef adalah tukang kayu yang bekerja di misi di bengkel bruder Thomas SVD. Ia orang yang  baik dan ramah kepada siapa saja. Pernah Atai dan anaknya membakar dapur yang terbuat dari alang-alang membuat kami semua ketakutan. Untung api tidak merambat ke rumah induk dan rumah kita yang juga beratap rumput ilalang.

Halaman belakang rumah, dekat batas kebun ada  WC keluarga, yang kami sebut dengan nama kakus. Jaraknya agak jauh dari rumah karena kakus masa itu tidak menggunakan kloset duduk dengan desain leher angsa, bila dekat rumah akan menyebarkan bau tidak nyaman. Kakus seperti itu, ketika sedang buang air maka kotoran langsung cemplung. Suatu hari entah apa yang mendorong saya, dengan sepatu bot saya mengejar seekor anjing. Karena ketakutan ia lari dan terjatuh masuk ke dalam lubang WC. Saya pun jijik untuk membantunya, karena dari atas nampak kotoran manusia dan adanya ulat ulat yang menjijikan. Entah bagaimana caranya, akhirnya anjing itu dibantu keluar oleh pembantu.

Saya memang usil dan sering berimaginasi dan berangan macam-macam. Hal itu membuat saya sering sulit tidur dan, pikiranku melayang ke mana- mana. Suatu saat saya menemukan ada permukaan tanah yang lebih tinggi dari tanah di sekitarnya. Sengaja saya mengorek, ternyata saya menemukan banyak pecahan kaca (beling). Hal itu membuat saya semakin bersemangat dan terbawa ketika tidur, sukar tidur dan berimajinasi  harta karun yang “disembunyikan Jepang”. Mungkin ada banyak emas intan dan berlian, wah saya bisa menjadi orang kaya. Saya menggali dengan semangat tinggi, dengan harapan segera menemukan harta karun dan membuat kami bisa menjadi kaya. Namun semakin menggali saya terus menemukan pecahan kaca dan, setelah mencapai 1.5 meter saya hentikan alias gagal menjadi orang kaya.

Herannya, Papa Mama juga tidak melarang saya menggali lubang sampai sedalam itu. Kejadian ini sekitar  tahun 1958, ketika usiaku baru 10 tahun. Di kemudian hari, saya sadar bahwa pecahan kaca itu berasal dari lubang WC lama yang sudah penuh dan kebiasaan orang melemparkan pecahan kaca ke dalam lubang WC agar tidak melukai kaki. Karena desakan tanah maka dalam jangka waktu tertentu pecahan pecahan kaca itu muncul ke permukaan. Bangku merah pasti menertawakan kebodohanku.

Sekarang usia bangku merah sudah lebih dari 68 tahun (2021). Banyak tamu duduk dan melepas lelah di kursi merah, tak terhitung banyaknya. Khususnya ketika papa mengalami masa jaya sampai tahun 1959. Mereka mungkin orang yang datang berbelanja di toko, para penjudi, para papalele sebutan untuk orang orang berjualan pada hari pasar saja atau teman-teman Papa. Karena Papa punya pergaulan erat dengan pejabat, khususnya polisi maka kursi panjang ini juga diduduki oleh banyak anggota kepolisian yang datang dengan berbagai urusan, sering datang untuk makan makan dan minum-minum saja. Pada masa jaya itu, rumah Halilulik selalu ramai, menjadi tempat berkumpul para papalele, pejabat, raja-raja yang mungkin melakukan perjalanan dari Betun ke Atambua atau sebaliknya, sering pula rumah kami menjadi tempat untuk menginap. Bisnis eceran Papa juga maju sekali, hampir setiap minggu ada pengiriman barang dari toko ABC  di Atambua.

Papa sering menggunakan kuda putih untuk belanja ke Atambua. Jarak Atambua dan Halilulik sekitar  23 km. Dulu seingat aku, jarak Atambua Halilulik jauh sekali dan sangat berbahaya ketika melewati Halikelen dan Kimbana, karena masih banyak perampok dan penyamun. Menurut Mama, dulu ada seorang pendeta diserang, ia cukup mengucapkan ”Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21), lanjut Mama, penjahat yang sudah mengangkat kelewang dan mau menebas pendeta, anehnya orang itu menjadi kaku tak dapat bergerak, maka selamatlah Sang Pendeta. Dalam hati, saya sungguh bangga, Papa pasti juga punya kekuatan yang sering sekarang kita sebut, ajian yang ampuh atau leu-leu, sehingga dapat selalu melewati daerah yang berbahaya itu. Papa juga pernah pulang pergi Atambua Halilulik dengan sepeda, selain menunggangi kuda putih.

Pertama kali melihat Papa tiba kembali dari Atambua dengan menaiki sebuah sepeda merk Philips buatan Belanda hatiku diliputi kegembiraan. Papa membonceng saya untuk keliling menggunakan sepeda itu. Hatiku senang dan bangga. Setiap hari saya membersihkan, memberi minyak dan saya sangat menyayanginya. Kondisi fisikku yang masih kecil membuat saya tidak bisa menaiki sepeda itu, apalagi sepeda itu sepeda laki laki. Tak lama kemudian sepeda itu dijual dan membuat hatiku sedih sekali.

Walau singkat saja tinggal di Halilulik, tetapi saya merasa dekat dengan Papa.  Suatu hari  Papa mengajak saya untuk pergi berburu burung di perbukitan Nanaet. Biasanya kami pulang selalu bawa burung. Papa menggunakan senapan tumbuk dengan pelor timah hitam yang diambil dari aki mobil bekas. Mesiunya dibongkar dari peluru senjata api. Hari itu menjadi hati kurang beruntungan. Tidak satu ekor burung pun yang diperoleh.

Papa selalu mengajarkan kalau menembak burung harus dari depan karena disitu ada jantungnya, kalau dari belakang burung tidak langsung mati, masih bisa terbang jauh. Dalam perjalanan pulang saya jatuh kedalam jurang. Walau tidak terlalu dalam tetapi membuat Papa kaget juga, dan saya rasakan papa sangat sayangnya padaku. Tahun tahun itu, adik Jakobus Umriso Teiseran belum lahir (21 Desember 1958), maka saya adalah satu satunya anak laki-laki. Secara tradisi, orang tua sangat bangga bila lahir anak lelaki, karena hematnya hal ini pertanda ada penerus garis keturunannya.

Pulang dari perburuan yang tidak berhasil tidak masalah  karena papa menjadi  segar dan sorenya mulai menikmati sopi (alkohol) yang ada anak rusa terendam. Saat seperti itu jangan ada yang berbuat sesuatu yang salah, bisa kena pukul semua. Suatu ketika Papa sedang mengganti atap rumah sehingga Papa sibuk mengurus orang kerja. Saya terlambat pulang dari main, sudah jam 6 sore lewat. Wah ampun,... Papa ambil sapu lidi, memukul saya, dan sakit sekali. Paha dan pantat menjadi sasaran. Tidak tahu bagaimana memulainya, aci Fi (kakak Maria Umriso Teiseran)  juga ikut mendapat bagian pukulan sapu lidi juga. Mama sampai berteriak, maksudnya untuk menegur Papa, sudah cukup. Saya dengan tulus sekarang menyatakan ucapan terima kasih, kepada Papa. (Bagi orang tua, kalau menegur dengan mulut tidak dituruti oleh anak, perlu dengan kekerasan. Karena jangan menunggu orang lain yang akan menggunakan kekerasan setelah anak itu  dewasa karena anak kurang ajar, pencuri, tidak disiplin, egois, sombong, pemalas tidak disenangi masyarakat.) Papa juga memberikan pujian kalau saya berprestasi.

Hai bangku merah………..engkau masih ingat? Suasana gembira ketika saya menjual daging darah sapi yang dicampur dengan bagian dalam sapi. Paru, perut usus, lemak ternyata laku keras. Biasanya Papa sibuk menjual daging-daging sapi dan urusan darah menjadi tanggung jawab saya. Saya menyalakan api, merebus daging perut dan daging kok (paru) kedalam drum bekas  besar oli. Potongan daging yang besar itu saya  iris kecil-kecil. Darah saya masukan, semua irisan daging bagian dalam hewan dimasak menjadi satu lalu dikasi garam secukupnya. Sedap betul. Orang kampung membelinya untuk makan sambil minum sopi (alkohol). Ingatkah engkau kursi merah ketika saya menjual sop daging darah dan menjual minyak tanah di pasar Halilulik? Betapa senangnya waktu menyetorkan hasil penjualan kepada Papa atau Mama dan mendapat pujian? Bangga karena bisa membantu Papa dan Mama. Ooooo sungguh membanggakan ketika pujian itu datang karena memang ku tunggu tunggu.

Papa memiliki pisau khusus yang agak panjang, hanya sekali tusuk langsung kena jantungnya dan sapi pun segera mati. Lama-kelamaan mulai ada umat muslim yang ikut berjualan di pasar Halilulik, maka sapi digorok lehernya diiringi doa. Darah yang tersembur keluar harus menggunakan daun pohon besi untuk menutupi pancaran darah yang keluar. Tetapi waktu itu, Papa mulai jarang menjual daging sapi. Karena satu demi satu sapi kami di kandang Bekomean mulai berkurang, harta sedikit demi sedikit mulai habis. Keluargapun mulai memasuki masa yang sulit.

Bangku merah, waktu itu toko kita laku sekali. Masa kecil kita berkecukupan uang, Papa selalu ke Atambua untuk mengambil barang-barang di Toko ABC. Selain pesan barang, mereka juga minum minum bir sambil bermain main judi. Papa menceritakan, mereka minum bir berbotol botol dan agar tidak mabuk sebelum minum bir papa makan dulu mentega.

Saya sangat senang kalau ikut membongkar barang-barang yang baru datang. Biasanya kalau saya ikut mengatur pasti diulangi oleh Papa karena tidak menurut seleranya. Karena sering makan daging, maka  saya menjadi tidak biasa makan sayur. Suatu kali saat makan bersama papa, tamu dan saya. Saya menggunakan sendok makan saya untuk menyendok sayur/daging, Papa memperingati itu tidak baik, harus pakai sendok lain. (Saya ingat sampai sekarang sehingga anak-anak saya selalu saya ingatkan, supaya kalau makan apalagi bila ada tamu jangan berbuat begitu, terima kasih Papa). Kuingat sekarang bangku merah, masakan Mama yang paling enak adalah, tomat campur daging, nasi goreng Mama sungguh istimewa, harum telor ayang kampong dan aroma minyak babi.

Masa kanak-kanak adalah masa yang indah dan jangan dilewati tanpa kenangan indah seperti  diisi dengan hal hal yang sehat, benar, rajin, rendah hati, kasih dan sayang. Ibarat kertas putih, anak perlu ditulis yang benar berhubungan dengan karakter. Karena sekali di tulis sulit untuk menghapuskannya kembali. Pesanku ini untuk anak-anak dan cucu yang saya sayangi. Tantangan dan kesusahan di masa kecil membuat orang menjadi mandiri dan memiliki daya kreatif, banyak berinisiatif serta tahan bantingan. Tantanganmu, anak anakku sekarang lebih berat!

 

Sekolah Belajar Kerja di Kefamenanu

Saya “diambil” kung Liem Tjeng Hie ke Kefamenanu untuk bersekolah di sekolah Tionghoa. Setiap malam saya tidur setempat tidur dengan Kung Liem Tjeng Hie. Di Kefamenanu, saya berlatih mengerjakan pekerjaan rumah dan berdagang berjualan kue. Saya berjualan kue ubi yang di dalamnya ada gula lempeng (gula batu), kadang kala juga gula hela, pisang goreng atau kue kukus yang dibungkus dengan daun pisang yang diletakan pada niru. Kuletakan di kepala atau menjinjing di pinggangku yang kecil. Saya pernah merasakan kue ubi goreng yang sudah tidak laku setelah 3 hari.

 

Popoku Tan Fie Moy               Kungkungku Liem Tjeng Hie

 

Rasanya  keras tapi enak dan mempunyai rasa yang istimewa. Kalau sedang jual kue atau berangkat ke sekolah, saya sering digoda ketika melewati Kampung Family oleh anak anak perempuan yang lebih dewasa. Mereka suka menggoda saya, katanya pipi saya merah dan badanku gemuk. Pernah karena tidak tahan saya berkelahi dengan mereka. Sayangnya saya dapat pukulan telak di kuk, aduh sakit sekali…. Saya menangis dan melaporkan ke Po Lu Meu Nen. Di Kefamenanu saya sangat dekat dengan keluarga po Meu Nen. Saya sering diberi makan oleh Po Meu Nen. Kalau sudah merasa lapar, saya mampir dan makan  baru pulang rumah blek Bansone.

Hari hari liburan ketika pulang ke Halilulik, saya juga mulai membantu papa untuk membersihkan rumput di kebun jagung. Kami senang sekali kalau musim panen, hasilnya jagungnya besar-besar, dan ubi kayu yang bagus-bagus. Papa minta saya ikut balik tanah dan tofa rumput. Sebagai anak kecil saya sering muka asam (malas), tapi tidak berani di muka Papa. Tapi kalau kerja baik dan dipuji Papa, wah senang sekali. idong lubang (hidung lubang) bertambah besar. Mama sering memperhatikan saya, katanya kalau di suruh Papa muka saya seperti 69. “Keu kalau disuruh kerja oleh papa, mukanya  seperti 69” kata mama. Maksud mama tentu saya malas.

Saya ingat ketika tinggal di Kefamenanu, setiap musim hujan lewat, kali Bansone banyak welung (air dalam) saat itulah banyak boek (udang kali) dan tuna (belut). Saya menemani apo Bansone pergi soro boek (tangkap udang/ikan pakai jala kecil yang melingkar terbuat dari rotan. Kalau berhasil, hasil tangkapan itu direbus dengan ujung daun asam muda. Teknik lain untuk menangkap ikan, Apo Bansone menggunakan semacam daun pemabuk ikan. Kalau berhasil, tangkapannya bisa banyak. Pekerjaan lain  yang aku kerjakan adalah menumbuk padi. Saya rasa pekerjaan ini berat untuk anak seusiaku. Nanun pekerjaan yang paling berat kurasakan adalah tugas mengambil air dari kali  Bansone, lewat hutan jati. Apalagi kalau sampai membuat penuh 1 drum air yang ukurannya besar. Dari semua pekerjaan yang paling senang dari kecil hingga saat ini adalah mencuci piring. Ternyata hobi saya ini mendapat pujian, ketika ada pesta nikah ku Apotae. Sekarang saya merasakan, yang terjadi pada usia kecilku memberikan rasa kebahagiaan tersendiri. Pengalaman yang membawa senang dan duka, telah menempah hidupku. Sederhana, senang dan bahagia bersama anak dan cucu cucu.

 

Muliakan Tuhan

 Karena sekolah Tionghoa ditutup maka saya pindah bersekolah SR di Halilulik pada tahun 1958. Saya mulai mengenal ibadah di gereja. Perayaan Natal maupun Paskah merupakan hari-hari yang membawa kebahagian dan kesenangan bagiku. Saya sangat gembira kalau saat saat itu tiba. Sebagai anak-anak ajuda (misdinar) saya merasa sangat membanggakan. Menjelang pesta besar, kami bisa berlatih sampai 10 kali dan ada pastor yang datang khusus dari Lalian (Seminari Menengah) untuk melatih. Orang-orang dari kampung telah datang beberapa hari sebelumnya acara gereja. Mereka datang membawa berupa sayur mayur ayam dan jagung serta  tidur di SD atau halaman gereja yang ada di Halilulik. Perayaan  Misa lama sekali, salah satu penyebabnya karena orang awam, waktu itu tidak boleh memberikan Sakramen Maha Kudus. Nyanyian mengiringi komuni bisa sampai 20 lagu. Maka tak heran perayaan ekaristi bisa berlangsung sampai 4–5 jam. Seusai acara misa untuk mengisi waktu diadakan perlombaan koor dan suling dan itu membuat suasana ramai sekali, seperti pasar malam.

Saya dibaptis dengan nama Tarsisius oleh pater H.J Somhorst, SVD pada tanggal 25 Februari 1959 dan menerima sakramen Krisma dari Mgr Theodorus van den Tillaart SVD,  pada 9 Agustus 1963 dengan nama Martin de Porres. Tidak lama kemudian pastor-pastor Belanda diminta kembali ke negeri asalnya, karena masalah Papua, Irian Barat. Pater H.J Somhorst SVD, dulunya seorang pastor tentara Belanda, ia diminta pulang ke Belanda oleh pemerintah Indonesia. Saya melihat ia sangat sedih, harus meninggalkan umatnya. Setiap pagi, dengan khusuk ia berdoa rosario di sakristi. Gereja tua dekat Susteran  mengingatkan upacara ratapan pada Jumat Agung di gereja tua berdinding bebak itu. Kesedihan mendalam mengenang penderitaan Tuhan Jesus.  Dahulu rasanya semua serba besar. Demikian pula Jalan dan bangunan rasanya lebih besar. 

Dasar-dasar kehidupan rohaniku terbentuk sangat kuat waktu itu. Takut akan Tuhan dan takut berbuat dosa. Setiap hari Sabtu kami ke gereja untuk mengaku dosa, kami benar benar mempersiapkan hati untuk misa hari Minggu. Orang dari kampung datang berjualan pada hari minggu. Banyak dari mereka telah datang pada malam minggu (pasar toba tan). Para pastor menggiring orang-orang di pasar untuk pergi ke gereja. Hingga pernah pada saat misa gereja tidak penuh ada pastor yang datang bawa rotan, dan menggiring orang untuk ke gereja. Kehidupan iman umat memang belum dewasa. Pernah Bapak Uskup, Mgr Jacobus Pessers SVD dengan sepeda Casella ke arah desa Nanaet, ke tempat orang menyembah berhalanya. Air yang berada di atas pohon beringin disuruh diturunkan, dan ia membuang air itu sepanjang jalan. Umat waktu itu minta hujan, sehingga orang kampung menyembah berhala untuk meminta hujan.

Kebiasaanku untuk selalu dekat ke Altar Tuhan inilah yang membuat saya tegar menjalani hidupku hingga saat ini. Di Muntilan, walaupun sudah STM saya masih sering menjadi Misdinar. Bahkan saya pernah memegang kunci pintu gereja. Membuka dan mengunci untuk mengatur orang yang terlambat datang ke gereja, untuk tidak mengganggu saat bacaan maupun khotbah. Saya bangga sampai sekarang kalau ingat kembali, waktu itu mendapat “kuasa” dari Romo Reinders  SJ.

 

Sekolah Rakyat dan SMP

 Menurut catatan tahun 1958 saya masuk di SR Halilulik, maka saya kemungkinan tinggal di rumah blek Bansone Kefamenanu selama 3 sampai 4 tahun. Waktu pulang libur ke Halilulik masalah sepeda ini terulang lagi. Papa beli sebuah sepeda jengki warna hijau. Karena sudah besar, mungkin umur 8 tahun sehingga saya dapat mencobanya. Dengan sepeda inilah kemudian saya dapat bersepeda. Karena Papa lebih sering bekerja dengan tangan kiri, maka mengajarkan saya bersepeda dengan kebiasaan kiri. Maka hingga sekarang saya naik sepeda selalu dari sisi kanan sepeda. Sepeda inipun kemudian dijual Papa. Kemungkinan karena usaha bisnis Papa mulai menurun, bintangnya sudah mulai  suram.

Saya bersekolah di sekolah Tionghoa di Kefamenanu tidak lama. Ditutup pemerintah karena PP 10. Lalu saya pulang ke i Halilulik untuk sekolah rakyat. Awalnya saya duduk di bangku  SR kelas 1, tetapi hanya beberapa bulan loncat ke kelas II, mungkin karena usiaku sudah lebih dari umumnya anak anak di  kelas 1 SR. Guru saya bapak Rafael Pareira yang sekaligus menjadi bapak Permandian saya. Di kelas III saya mendapat guru Balthasar Kosad berasal dari Noemuti. Sering setiap sore saya mengambil buku “batasan” (buku persiapan mengajar guru) untuk disampaikan ke kepala sekolah, pak Mikael Lopez.   Akhir tahun pelajaran kelas IV, saya dipindahkan ke SR 1 Atambua  dan langsung di kelas VI. Jadi di SR, saya hanya 4 tahun.

Sebelum itu, pada tahun 1958, Kung dan Po Tan Kang Djoeng beserta 7 anak pulang ke Tiongkok. Saya sedih sekali, karena Po sangat sayang pada saya. Waktu malam perpisahan Kiu Tan Yun Hean menyanyikan lagu Ole Sio Sayang Lale-lale. Kata-kata kapan tempo kita jumpa lagi membuat saya “hirus nawe” hati sedih luar biasa. Paginya berangkat ke Kupang untuk selanjutkan dengan kapal laut Rusia Gogol menuju Hainan Tiongkok saya mengejar, mengiringi mobil itu seperti mengantar kematian. Kesedihan yang sangat mendalam.

Kelas VI di SR I Atambua. Rasanya waktu itu demikian cepat, masih kuingat kepala sekolah Markus Mau mengajak mendaki gunung Lakaaan bersama Pater Timmermans SVD. Hingga saat ini saya bangga pernah  mendaki gunung Lakaaan. Dari puncak bisa melihat sisa benteng Portugis di sisi Utara Lakaan.

 Masa riang gembira di Halilulik tidak berlangsung lama, karena masa jaya Papa dengan jual beli sapi untuk dijual di Kupang, tidak mengalami kemajuan bahkan mundur. Papa memang bersemangat namun juga terobsesi pada ramalan nasib Papa yang sudah tertulis pada lembaran Song Meang, ramalan nasib,  yang pernah diperlihatkan kepada kami anak anak. Katanya, Papa harus  beberapa kali melewati banjir besar sampai tua, artinya harus banyak mengalami pencobaan yang menyedihkan yang datang silih berganti.

Waktu saya sekolah di Atambua, pada tahun 1961 Papa mengalami musibah  ditahan oleh jaksa  di penjara Atambua. Saya sedih sekali dan sering menangis mengingat Papa. Pernah saya masuk sampai ruang tahanan dan aromanya bau sekali. Ruangan itu kecil ada WC dan, menurut Papa ada juga tikus dan  kecoa. Kalau Papa cerita begitu saya menangis Walau begitu Papa tetap tegar dan selalu mengatakan Papa tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan. “Orang-orang ini di kemudian hari akan diperingati Tuhan” kata Papa. Beberapa kali Mama memasukan sepotong kertas ke dalam bungkusan rokok, mungkin ungkapan perasan Mama untuk menguatkan hati Papa. Pernah saya bawakan ikat pinggang terbuat dari kain merah untuk Papa pakai, semacam jimat. Kabarnya Papa pernah ditempeleng oleh jaksa Pasiki pada sebuah pemeriksaan.

 

Pada tanggal 5 Februari 1989, saya berbincang-bincang dengan Papa. Papa mengatakan sungguh kasihan orang-orang yang memfitnah Papa ini. Walau Papa sudah memaafkan mereka tetapi mereka mengalami masa sulit dalam hidup. Papa dan Mama juga mengatakan, Papa memang harus mengalami masa sulit karena sudah menjadi suratan tangan Papa,. Hingga kami anak anak dapat bersama papa sampai berusia 67 tahun.

 

 

Ponu Masa Kecil Papa

Sehabis ditahan di penjara tanpa sidang di Pengadilan, Papa membuat rencana untuk kami sekeluarga pindah ke Ponu. Kemungkinan saat itu papa bingung, bagaimana menghadapi kepahitan dalam hidupnya. Beberapa kali Papa ke Ponu, ke Maukita untuk gergaji kayu untuk dijual, namun pendapatannya tidak seberapa. Papa juga ke Ponu untuk membersihkan rumah peninggalan kung Tan Sim Seng yang rencananya untuk tempat tinggal kami. Semasa kecil Papa lama tinggal di Ponu, terpisah dari kung Kefa setelah Apo meninggal dunia. Ketika itu Papa, asuk Mera dan ku Abu May masih kecil.

Memang kehidupan mereka tidak berkekurangan dalam hal materi. Bahkan dapat dikatakan mereka menikmati kemewahan sebagai orang kaya. Masa kejayaan dimana mereka masih mengalami  atan (budak) sebagai pelayan. Mereka tumbuh bebas di manjakan Akiu dan Aji, terutama kung Tan Sim Sen.  Papa pernah mengatakan, ia  tumbuh bagaikan pohon yang tumbuh bebas. Tunas yang muda itu mungkin tersenggol sebuah ranting, maka ia tumbuh dengan pucuk mengarah ke tanah, nanti baru tegak lagi. Mama juga pernah singgung ungkapan ini, akhirnya kami anak anak  sadar bahwa hidup Papa selama ini memang penuh perjuangan. Papa juga tumbuh sebagai pribadi yang cepat marah. Waktu kecil sering menangis, sehingga oleh keluarga dinamai Arakat. Diambil dari kata karakat, konon memang ada Asuk Papa yang bernama Asuk Arakat.

Pernikahan Papa dan Mama termasuk unik karena terjadi pada masa penjajahan Jepang. Banyak anak perempuan dinikahkan lebih awal, bahkan tanpa berpacaran dan saling kecil karena takut sebagai pemenuhan kebutuhan sex tentara Jepang. Waktu itu Mama dan keluarga tinggal di Lelowai, sedangkan Papa ada di Non. Setelah orang tua duduk bicara, maka Mama diantarkan ke Non oleh Po Lie Fie Moy, hidup bersama Papa. Aci Fie lahir pada tahun 1943 dan ji Boa datang dari Lelowai untuk menemani Mama di Non. Mama menikah awal tahun 1943 pada usia 16 tahun. Ji Boa mengatakan, setelah Papa dan Mama menikah ku Liem Bu Moy selalu bersama  Papa dan Mama.

Suatu ketika Papa datang dari Ponu membawa sebuah sepeda sudah rusak, padahal kualitasnya baik sekali ringan dan pasti nomer 1 di jamannya. saya perbaiki dan kemudian memakainya beberapa saat. Sampai akhirnya dibawa kembali ke Ponu, saya sedih sekali, karena untuk kesekian kalinya saya tidak mempunyai sepeda.

Pengalaman lain yang tidak akan kulupakan adalah waktu saya dipukul seorang guru SMP Don Bosco, Endik Benani karena terlambat datang studi pada sore hari. Karena sakit saya  melaporkan guru itu ke Polisi. Memang keberanian itu ada karena dukungan dari asuk Liem Kong Seong. Ia tidak terima saya dipukul. Beberapa kali sidang, karena saya dibawa umur maka saya tidak perlu disumpah. Kemudian ternyata guru tersebut dihukum percobaan karena dinyatakan bersalah. Hakim Ratukore beberapa kali datang dari Kupang untuk sidangkan perkara itu.  Setelah perkara saya diputuskan hakim, saya pindah ke Kefamenanu.

 Keluarga saya. Papa, Mama, Aci Fie, Ros, Nona, Tjuk, Gema Teiseran lahir 22 Agustus 1953, Ani, Mariani Teiseran lahir 19 Februari 1957 dan Atai, Jakobus Teiseran lahir 21 Desember 1958, masih tinggal di Halilulik. Keadaan keluarga semakin susah. Tiga orang adik meninggal di Halilulik, berturut-turut. Amoy dikuburkan di halaman belakang rumah Ayu ko, Liem Ju Tjhong.  Lalu Petra dan menyusul Consulata, di kuburan sarani di belakang gereja. Ros menceritakan peristiwa ini dengan baik. “Beta masih ingat mama menangis berteriak menyayat hati, sangat menyedihkan. Menyebut mengapa kesedihan dan kepedihan tidak henti dengan suara yang menyayat sambil menyebut nama adik adik yang sudah meninggal dunia. Mama meratap sambil bertanya mengapa kematian ini datang silih berganti. Amoy meninggal mama sangat sedih, sehingga Mama tidak bisa mengantar Amoy ke peristirahatannya yang terakhir. Baru besoknya, ketika susu Mama bengkak, Mama peras dan pergi ke kuburan Amoy. Membuat betong semua menangis sedih” ungkap Ross.

Sampai kemudian papa menjual rumah dan membawa semua anak anak dan mama ke Kiupasan di rumah asuk Liem Fun Seong. Harta mungkin tinggal beberapa ekor sapi saja dari hasil penjualan rumah. Saya ingat, masih ikut mengatur barang-barang yang mau dibawa ke Kiupasan. Kita dibantu Asuk Lay Su Wi yang meminjamkan mobil  Tarunanya untuk mama dan anak anak, sedangkan  Papa bersama gembala menggiring sapi-sapi untuk dibawa ke Kiupasan sejauh kurang lebih 40 KM. Kisah perpindahan yang menyayat hati. Di Kiupasan Papa tidak bisa bekerja juga  tidak bisa kerja sawah. Beberapa kali Papa ke Non untuk mengambil makanan dari Po Non dan Apak Liem Sun Fen.

Dan bangku merah ikut terbawa ke Kiupasan. Kau masih menyaksikan, berlanjutnya kesusahan yang dialami keluarga kami ini di Kiupasan. Adik Amandus berusia 8 bulan yang lahir di Halilulik meninggal dunia lagi. Situasi keluarga sudah susah masih ditambah kematian adik yang sangat sangat sedih. Waktu berita meninggalnya adik tercinta 1963, saya sudah pindah sekolah ke SMP Xaverius  Kefamenanu. Sedih sekali, kemiskinan dan penderitaan batin luar biasa menimpa keluarga kita. 

Temanku, almarhum Thomas Tan Kho Eu, meninggal 2016, meminjamkan sepedanya untuk saya pulang ke Kiupasan. Sialnya waktu mau masuk ke Maubesi, di jalan yang menurun saya  melaju kencang dan menabrak kerbau dan terjatuh. Dengan tangan yang keseleo akhirnya saya tiba juga di Kiupasan.  Itulah saat pertama kali saya memegang adik yang sudah meninggal dunia. Tubuhnya dingin dan Mama serta  semua saudara menangis tidak henti hentinya dan Papa duduk tertunduk menahan kesedihan. Amandus lahir di Halilulik dan lebih besar dari Frans Teiseran yang lahir di Kiupasan pada 21 Desember 1964.

Di Kiupasan ini entah dimana bangku merah di tempatkan. Seingat saya bangku merah masih ikut dan menceritakan banyak hal. Kondisi keluarga kita semakin susah, untuk makan pun sudah susah. Mama menceritakan, kita banyak dibantu oleh keluarga Eno Ama, mereka membawakan ubi dan jagung untuk makan keluarga kita. Papa masih terus kerja di Ponu dan Non, terkadang pulang membawa ubi dan jagung. Saya dan Atai pernah bersama papa menggunakan kuda dari Kiupasan lewat Sufa ke Non. Walau waktu itu banyak orang jatuh susah tetapi untuk makan apo Non masih punya untuk bantu kita. Bagi saya apo Non adalah pengganti Apo Tan Fie Moy mamanya papa yang sudah meninggal dunia.

Apo Non membuat saya merasakan kehadirannya seorang Apo, selain Apo lain yang tinggal jauh di Hainan Tiongkok. Waktu mau sekolah ke Jawa saya menemui Po Non dan membuat kaget. Saya minta apo duduk di pinggir tempat tidur sambil membawa satu  gelas air. Saya mau mencuci kakinya dan airnya mau saya minum. Maksudnya memohon doa Apo Non, agar hidup saya anak cucu cucu diberkati. Tentu Apo tidak mau “Jangan, jangan tidak perlu begitu. Mari bawa gelas air kesini, apo masukan jari dan kemudian minumlah. Semoga Tuhan memberikan berkat dan rejeki” katanya. Sesudah itu air segelas itu saya habiskan dan mencium kakinya. Terima kasih Apo Non, atas doa restu Apo hingga saat ini bisa saya rasakan bersama anak cucu  tidak berkekurangan, hidup sehat dan bisa bekerja dengan  baik.  Di Non saya bersama Ako Kun, Liem Sip Nen dan Aci Nyuk yang mereka menyayangi saya.

Engkau ingat bangku merah, waktu Papa sedang di Ponu dan saya membawa senapan ke bukit-bukit di depan rumah Kiupasan untuk mencari binatang atau burung, karena lama tidak makan daging dan kerinduan mencicipi daging?  Saya pulang tidak membawa hasil buruan, melainkan mengumpulkan sisa daging yang masih tersisah pada kulit kambing yang terbuang di hutan. Kemungkinan,  orang habis membunuh kambing curian. Kehidupan yang serba berkekurangan ini berlanjut terus.

Dari semua saudara hanya suster Marilaeta SSpS yang tidak lama mengalami kesusahan karena ia sudah masuk ke biara SSpS pada tahun 1963. Ia pergi dengan hati yang sekeras bagai batu karang. Menjinjin selembar tikar dan sebungkus pakaian, ia melangkah maju tanpa menoleh kebelakang. Entahlah siapa yang mengantarnya ke Biara Susteran Halilulik. Namun ia pasti merasakan kesusahan orang tua dan semua saudara.

 

Berputar Balik, Metanoya

Bersekolah di SMP Xaverius Kefamenanu atas rekomendasi pater MJ Timmermans SVD dan duduk di kelas 2.  Suatu saat saya lari dari  rumah Kung di Bansone. Karena merasa berat bekerja. Anak seusia saya 15 tahun tidak kuat bekerja, memikul air dari kali ke rumah blek Bansone dan tinggal di asrama. Tetapi ini sudah jalan Tuhan yang harus kulewati. Sebuah putaran balik yang membawa perubahan besar pada hidup saya di kemudian hari. Pater Deken Hendrikus Wilco Waterboer SVD, menjadi orang yang ikut merubah perjalanan hidupku. Saat itu Gereja Santa Theresia menjadi tempat kedua, karena sering sekali saya berada di situ, selain asrama SMP dan SPG.

Saya belajar main harmonium walau sering ditegur oleh pater Deken mungkin karena suaranya mengganggu. Tetapi saya terus memainkan harmonium tersebut. Setiap minggu saya punya tugas untuk menuliskan judul dan gambar pelengkap khotbahnya pater Deken Waterboer SVD. Dua papan tulis itu selalu terpasang pada tiang kiri dan kanan di depan umat. Waktu pesta paskah, saya buatkan gambar Alfa Omega yang dihiasi dengan lampu yang bisa bergantian menyala dan mati. Pater Deken senang sekali, ia sangat mendukung kreativitas saya.

Hari itu hari Paskah, tahun 1963. Pater Waterboer melihat hasil karyaku, ini yang mungkin menarik perhatiannya. Pater Deken melihat watak dan kedalaman jiwaku. Selama di asrama saya tidak membayar uang asrama. Makan jagung rebus hanya dengan garam dan leo saja, tetapi saya menikmati karena adanya kebebasan. Tidak selamanya saya makan jagung, karena terkadang saya mengambil sisa roti dari kamar makan pastoran. Sungguh nikmat makan roti keju dan mentega pada tahun 1963-64. Pernah diajak makan 1 meja dengan pater Deken dan pater lainnya. Saya terheran-heran waktu Pater Dekan selesai makan dan melakukan 3 tindakan yang bersamaan pada satu waktu. Sambil mengumpul piring kotor, ia berbicara (lupa apa) dan seketika itu ia membuat tanda salib, bahwa makan telah selesai.

Selain membantu koki, Om Bona di pastoran saya sering membersihkan kamar beliau. Kamar pater Deken tidak teratur. Ia seorang kutu buku berat, dimana mana berserakan buku-buku. Hematku, minat membaca mengalahkan kekuatan fisiknya dan ia tidak mempedulikan tempat di mana ia membaca. Ia pernah mengatakan pada saya tentang cara membaca buku dengan cepat. Sayang sekali otak kecilku tidak menangkap. Saya melayani dia mungkin satu tahun. Sering saya mengatur buku-bukunya yang tersebar di atas kelambunya, di samping tempat tidurnya di bawah kolong kursi malas atau di kolong tempat tidur. Kondisi meja kerjanya sama parahnya. Karena beliau hobinya memperbaiki tape- radio dan jam tangan serta kacamata, maka dapat dibayangkan seperti  apa meja kerjanya. Ia juga terkenal sebagai orang yang dapat menduga siapa yang ada di balik pintu dan datang untuk keperluan apa. Maka terkadang, ia menghindar dari pintu belakang. Ia pernah mengatakan beberapa orang ingin meminjam uang. Suatu hari ia membuka rahasia mengapa ia tahu seseorang yang datang, karena ia menggunakan kaca prisma yang dapat memantulkan objek.

Pernah saya buatkan sayur asin dari sawi hitam yang tumbuh di sekitar pastoran. Saya masakan dan Pater Deken menikmatinya walaupun waktu itu terasa sangat asin. Tak lama kemudian sayur asin itu berulat, yah mungkin waktu mengambil dan membuatnya saya tidak perhatikan kebersihan. Dalam beberapa saat saya ibarat menguasai gudang pastoran, kalau senang saya putar film Coboy di gudang.  Pater Deken tau karena listrik  tegangannya turun naik, mungkin ia marah. Akhirnya saya dapat beasiswa. Saya tidak tahu bagaimana memulainya, tapi saya minta supaya ia membiayai saya untuk sekolah di Jawa. Karena ia terpandang di keuskupan Atambua, dan mempunyai pikiran jangkauan jauh ke depan, akhirnya saya  dikirim sekolah ke Muntilan atas dibiayai oleh Keuskupan Atambua, setamat SMP pada usia 16 tahun. 

Pater Deken memandang ke arahku, memandang lama. Lalu ia masuk ke biliknya, pulang membawa sebuah celana besar, miliknya berwarna coklat muda. “bawalah ini, dipermak. Bisa jadi dua” Saya terharu, sambil menyampaikan terima kasih. Pater Deken fisiknya besar dan tinggi, celamanya besar bisa dimasuki dua orang  sebesar saya. Selain Pater Deken, Kiu Muk memberi sebuah celana yang lama saya pakai di Muntilan. Inilah dua orang selain Papa Mama yang dengan tulus hati membantu saya. 

Sampailah saatnya saya hendak berlayar ke Jawa. Dengan truk saya  berangkatnya lewat Atapupu menggunakan kapal Sabuda. Waktu mau berangkat Mama memberikan saya sebuah cincin emas bertahtakan mutiara. “Bawalah Keu dan kalau kehabisan uang jualah, mama tidak punya harta lain lagi“ kata Mama. Mama,  mama ku ingat itu, air mataku meleleh, betapa besar sayang seorang Mama kepada anaknya. Waktu mau berangkat ke Jawa, Papa berusaha mau menjual sapi di Maubesi, untuk uang sakuku ternyata tidak laku. Kondisi keluargaku mulai susah dan jatuh miskin.

Saya pamit kepada kung Kefa. Kung duduk di meja makan belakang rumah blek Bansone sambil menundukkan muka ke meja tidak lagi melihatku. Kung tidak menjawab apa-apa, mungkin sedih, memikirkan cucunya. Cucu yang sempat tidur setempat tidur dengannya sekian lama, yang pernah menemani Kung ke pacuan kuda. Kung Kefa meninggal tak lama setelah saya tiba di Muntilan December 1964. Kenangan indah bersama Kung, yang kuingat  yaitu sepulang kami dari pasar malam di Oemanu. Pagi pagi kung menemukan bongkahan  berwarna putih dan Kung mengatakan ini kotoran ular besar. Baik kita bawa pulang dan meletakan diatas loteng rumah sebagai penangkal kalau ada kebakaran. Sungguh mengesankan.

Ada orang tua lain yang mempengaruhi masa kecilku, yaitu kung Eban, saudara dari po Bansone. Kalau beliau datang dari Eban, ia senang berdongeng waktu tidur karena beliau setempat tidur denganku. Hingga saat ini yang masih kuingat adalah cerita tentang Abu Nawas. Mungkin cerita ini telah mempengaruhi cara berpikir dan bertindak saya yaitu tidak cepat menyerah dan terus melakukan, mencari cari yang terbaik untuk memperbaiki sesuatu. Cikal bakal paradigma baruku, “Kehadiranku kapan dan dimanapun selalu  membuat yang lebih baik”  Toyota mengatakan sikap itu sebagai sikap Kaizen.

Masa kecil dan remajaku hanya 16 tahun di Timor. Ku lewati  2 tahun di Atambua saat bayi, usia balita di Halilulik dan dibawa Kung ke Kefamenanu. Lalu kembali untuk SR 4 tahun di Halilulik dan Atambua, menjelang klas II SMP saya pindah ke Kefamenanu lagi, sampai akhirnya Juni 1964, setamat SMP saya berangkat ke Jawa atas biaya Keuskupan Atambua untuk belajar 3 tahun di STM Muntilan yang kemudian disetujui bapak Uskup Theodorus van den Tillaart SVD melanjutkan ke ATMI Santo Mikael Surakarta sebagai siswa angkatan 1 pada tahun 1968.

Sejak di Muntilan saya merasa hidupku berubah. Bebas namun tetap mengandalkan Tuhan. Hidup dekat dengan gereja dan para imam, membentuk karakterku. Hematku, di Muntilan proses pembentukan karakter Sanguinis Populer menjadi sempurna yaitu terbang dari bintang yang satu ke bintang yang lain sambil membawa sinar bulang di dalam guci.

 

Susah dan Miskin

Kalau saya merasakan kebebasan dan menggembirakan, tidak demikian dengan keluargaku di Kiupasan dan yang kemudian pindah ke Oelolok. Dari surat-surat yang Mama kirim, Mama berceritera tentang keluargaku yang masih susah. Bahkan disebut amat susah dan miskin. Tjuk yang tinggal dengan keluarga di Kiupukan sangat menderita, bahkan sering mendapat pukul sampai ia mengalami trauma. Suatu malam Tjuk yang masih SR ini, melarikan diri karena tak tahan lagi.

Papa bertani sawah di Oelolok. Mama menceritakan walaupun susah, Papa tetap berusaha untuk menghidupkan mama dan anak-anak. Papa mengerjakan apa saja untuk menghidupkan keluarga. Keluargapun terjatuh ke perasaan rendah diri.  Atas kebaikan bapak Raja Insana, LAN Taolin dan bapak Fetor, , Papa bisa buat sawah di Oelolok. Mama dan adik adik masih di Kiupasan akhirnya pindah ke sawah di Oelolok. ini masa yang amat susah. Tetangga di kampung Kiupasan membantu memberikan makanan, khususnya Enno Ama suami isteri. Karena demikian susahnya mama membawa adik adik menyusul papa di sawah Oelolok.  

Mama, Ros, Ani, Atai dan Frans yang masih kecil dalam gendongan Mama, berjalan kaki ke Oelolok. Di tengah perjalanan ada mobil yang lewat, Mama dengan semua saudara buru-buru menyembunyikan diri di belukar. Kata  Mama mereka merasa sangat malu dan rendah diri. Atai yang ketika itu berusia 7 tahun, masih ingat, ia kepayahan berjalan sejauh itu. Dari Kiupasan sampai sawah di Oelolok melewati gua Bitauni, tidak kurang dari 15 km.

Di sawah Papa sudah siapkan sebuah gubuk kecil, bangunan kecil bagi penunggu di sawah. Atai menceritakan mereka tidur beralaskan jerami. Dari Kiupasan mereka tidak membawa banyak barang. Tuhan memang Maha Pengasih, ketika berada pada titik terendah, Ia mengangkat keluarga kita. Papa berusaha menanam tanaman umur pendek agar bisa segera dimakan. Ternyata tumbuh subur, seperti umbi umbian, sayur sayur. Waktu itu tidak ada persediaan beras, maka Papa memetik butir-butir padi masih hijau, lalu digoreng hingga kering lalu dijadikan bubur untuk makan beberapa hari.

Sebagai anak laki,  Atai banyak bekerja membantu Papa buat sawah, bekerja membersihkan sawah atau saluran air. Kata Atai : ”Papa rajin sekali, padi juga tumbuh subur. Suatu saat Papa berniat memagar lokasi sawah, karena sering kemasukan sapi, tetapi tidak jadi dilaksanakan”

 Setelah pindah ke Oelolok, mulai terjadi sedikit perubahan kearah lebih baik. Di sawah inilah Ayu ko, Liem Ju Tjhong datang dan  menyampaikan simpatinya dan sedikiti bantuan. Aju ko menyarankan  sebaiknya dicarikan tempat lain untuk rumah. Selain Ayu Ko, Atai ingat Jicong Ji Meu pernah datang ke sawah membawa bantuan kepada keluarga kita. Maka tak lama kemudian Papa membangun sebuah rumah seperti rumah orang di kampung yang tinggal di sawah, hanya berbentuk dua air.

Tahun 1966 waktu pulang libur, saya menginap di sini. Sekeliling rumah mengalir air. Mama bercerita pernah terjadi kemasukan ular besar. Setiap hari Papa mengerjakan sawah dan pernah terluka. Demikian juga Atai. Ia pernah menggunakan parang milik Papa yang amat runcing. Ketika tangannya mengayun memotong rumput, parang itu terlepas dan menimpa tangannya, hingga memutuskan otot yang akhirnya perlu dijahit oleh menteri Petrus Tumbas tanpa bius. Ia mengatakan sakit sekali.

Sejak kepindahan ke Oelolok, tidak banyak sahabat dan keluarga yang datang menengok kondisi keluarga kita. Kenalan yang datang membantu antara lain Raja Oelolok bapak LAN Taolin dan bapak Fetor Oelolok. Pater Kock SVD, yang paling sering datang mengunjungi keluarga kita di sawah. Memberikan penghiburan dan membawakan makanan. Tidak banyak yang mau peduli ketika papa jatuh miskin. Teman teman setia yang menemani hingga bapak meninggal dunia adalah Kucong Asam Liu Wie Hok, bapak Anton Leu,  bapak Mone, bapak Bas, bapak Suparno, terima kasih bapak-bapak yang sudah menemani Papa hingga akhir hayatnya.

Saya tidak ikut merasakan penderitaan Papa Mama dan semua  saudaraku. Karena sudah sekolah di Muntilan, setiap bulan saya menerima uang untuk membayar indekos dan  uang sekolah. Dapat dikatakan tidak berkekurangan, bahkan hidup senang. Tapi kasihan keluargaku, mereka menderita karena kemiskinan, mereka makan maek dan umbi-umbian dari hutan. Mereka juga mengalami berbagai penderitaan, Atai pernah terjatuh dari kuda karena pergi cari rumput untuk kuda dan kakinya kena linggis waktu membantu mendirikan gubuk. Atai juga merupakan anak laki yang banyak membantu Papa di sawah. Banyak cerita diungkapkan oleh Atai. Pernah karena ingin sekali menikmati kue solo dan pisang goreng maka ia menukarkan telur ayam dengan sepotong gorengan. Masa Mama  tidak punya minyak kelapa, tidak punya uang untuk membelinya. Baru memiliki minyak kelapa bila ada buah kelapa milik Fetor yang jatuh. Ketika membuat minyak kelapa itulah, saat saudara-saudaraku menikmati makan nasi dengan lauk ampas kelapa yang rasanya nikmat sekali.

Sepulang dari sekolah Atai banyak kali mampir dan bermain dengan anak-anak Bapak raja Taolin.  Ketika tiba jam makan, mereka masuk makan dan ada yang keluar dan membawakan sepiring nasi dan lauk untuk Atai dan ia merasa sangat nikmat  walau hanya nasi dan sayur air.  Masa sulit Atai alami hingga tamat SMA dan pindah ke Solo. Tersulit mungkin ketika  SMP di Atambua, karena untuk makan jagung rebus pembantu saja ia harus mengambilnya cara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui yang punya rumah, Atai melakukan karena sudah lapar. Bahkan ketika pindah ke Asrama Surya, ia tidak punya apa-apa selain pakaian beberapa helai. Sedangkan bagi anak asrama mereka harus punya bahan makanan dan periuk untuk memasak. Maka sering kali pada jam istirahat Atai harus cepat cepat ke dapur dan mengambil beberapa genggam jagung rebus dan cepat-cepat dimasukan ke dalam mulutnya, agar tidak ketahuan yang punya jagung rebus.  Atai juga mengatakan bahwa di  SD sering membantu oleh Liu Sun Ki, Liu Sun Tju, Emanuel Taolin, Antonius Taolin dan Ester Taolin. SMP sampai SMA juga sama, ada teman membantu. Ketika makan di kantin maka teman teman yang membayar, karena ia tidak punya uang.

Oyah bangku merahku, ketika di rumah sawah dimana kau ditempatkan. Dari peristiwa peristiwa menyedihkan yang saudara saudaraku alami saya bisa memaklumi kalau rasa bersatu sepenanggungan  saudara sekandungan sangat kuat. Maka benar yang dikatakan, bila kita tertawa bersama tidak lama kemudian kita sudah lupa, tetapi bila kita menangis bersama, maka rasa sedih itu lebih lama tinggal mengatuhan persaudaraan kita.

Waktu pulang libur tahun 1966, Aci Fie mau ikut less di Surabaya dan tinggal di rumah Kiu Tan Soen Hean. Kemudian bertemu Cong Moy Tjhong. Mungkin, pada tahun 1968 Aci pulang dan bekerja dengan pater Gutti SVD sebagai guru kepandaian putri di Maubesi. Setiap hari Sabtu, Aci Fie berjalan kaki ke Oelolok, membawa bahan makanan bagi  Papa Mama dan semua adik adik.

Dari sawah, keluarga kami pindah ke depan sekolah, menempati rumah dinas pegawai Kecamatan atas perjuangan Ros yang meminta kemurahan hati bapak LAN Taolin. Di rumah inilah kemudian Aci Fie menikah dengan Cong Hiu Moy Tjhong. Kondisi keluarga semakin lebih baik, Atai bercerita,  Cong Moy Tjhong sebagai orang yang baik sekali. Kalau datang dari Kupang, pasti cong sudah membawa beras, ikan daging dan Atai serta saudara saudara sudah membayangkan bakal makan enak. Ketika suara deru mesin mobil mendaki Noenebu suara sudah terdengar di rumah Oelolok berjarak sekitar 9 km,  mereka sudah merasakan bakal ada makan enak. Sampai disini cerita Atai, ia menangis terharu mengenang getirnya hidup masa lalu. Roda terus berputar, dinamika hidup terus berlanjut. Tidak selamanya orang berada di bawa, pada saatnya akan berbalik ke atas. Beberapa saudara yang pernah mengalami pahit getir masa lalu, sekarang diberkahi  hidup dalam kecukupan dan bahagia. Puji Tuhan karena Ia yang tahu ke jalan mana kita akan pergi. 

Suatu saat, ketika saya sudah pulang ke Timor merasa kurang enak badan. Papa mengajak ke tempat tidur dan mengoleskan minyak ke dadaku. Papa memang tahu kalau saya pernah menderita TBC. Dengan telapak tangan kirinya Papa mencoba menghangatkan tubuhku, yang saat itu kurus dengan berat badan hanya 53 kg. Saya merasakan bukan hanya kehangatan tetapi ada aliran cinta kasih Papa memasuki relung terdalam dari badan dan jiwaku.

Imlek tahun 1989, 5 Februari saya berbincang bincang dengan Papa. Saya singgung kebangganku pada Papa yang 3 tahun lagi akan mencapai usia 70 tahun. Kami berdiskusi tentang kesehatan, Papa menyatakan menderita sakit jantung. Saya tidak tahu, sejauh apa sakit jantung Papa. Saya tahu Papa menderita tekanan darah tinggi. Kusinggung, sakit jantung ibarat mesin mobil yang kruk as sudah cacat, jadi sudah tidak bisa paksa kerja berat lagi. Ya..... jalan hidup Papaku sudah harus begitu, 10 Februari, 2 hari setelah saya kembali ke Yogyakarta, menerima kabar Papa meninggal dunia.

 

Oelolok 29 Agustus 1994 dan Perasaanku

Perjalananku memang jauh, kulewati daratan, selat dan laut dari Semarang untuk tiba di Kupang Timor. Kendaraan mencapai kilometer yang ke 2000 setibanya di Kupang, rasanya tidak pernah berakhir. Kijang sudah dijual ke Katedral Kupang dan kami melanjutkan perjalanan ke Oelolok dengan Bus. Bus semalam menurunkan saya dan Sebastian Budi di Kiupukan pada jam 00.15, kami berjalan kaki ke Oelolok dalam kegelapan.

Pagi setelah bangun, saya menuju belakang rumah. Sisa- sisa barang seperti mesin, kunci, besi dari Papa almarhum melulu-tanyakan perasaanku. Mama tidak ada di rumah. Sepi. Mencoba duduk di ruangan tempat dulu jenazah Papa dibaringkan, memandang ke dinding tempat foto Papa tergantung. Teringat kebaikan orang tua semasa hidupnya. Kalau saja libur Papa lantas mencari sayur di kebun dan masak untuk kami makan bersama. Sekarang rasanya semua sudah berlalu. Rumah tempat kami sering berkumpul. menyanyi, tertawa, minum bir dan makan ayam atau babi panggang sekarang seperti bisu, hampa. Di sana-sini tembok bebak (Batang sejenis pohon palma) mulai lapuk tidak seperti ketika Papa masih ada. Beliau rajin merawat. Isi rumah pun seperti terus berkurang dan mengecil. Napas sekian banyak orang yang dulu memenuhi ruangan ini sekarang tinggal saya sendiri. Sesekali anjing yang setia berjalan mendekat, mungkin ia mengetahui gejolak dalam jiwaku. Papa, papa  yang waktu saya hendak nikah, naik dan duduk di bak truk. Mama dengan bayi Emi di depan. Setelah puas dengan lamunanku saya mengambil sebuah buku dan bolpoin, lilin dan korek api menuju ke pusara Papa. Ku tumpahkan semua rasa rinduku padanya, inilah sebagian yang kukutip sesuai dengan aslinya:

Pagi ini saya berziarah ke makam Papa, sebelumnya melihat, merenungkan kembali apakah ada sesuatu yang bisa`mengingatkan pada saya masa lalu, kenangan akan senang dan susah rumah tua di Oelolok ini. Setiap sudut rumah ingin kuselidiki dan menampakan banyak kenangan yang tidak lengkap lagi, tidak penuh lagi, berkurang sepertinya menuju kekosongan. Tempat tidur yang tadinya disediakan untuk menyambut kita semua, anak dan cucu-cucu Papa Mama sekarang tanpa spray. Sprei terkunci di lemari,  ditempat tidur sepertinya tidak pernah terpakai lagi. Isi lemari pun sepertinya berkurang tidak sepenuh dulu lagi.

Kutemukan besi besi bekas dan sebuah blok mesin Jeep, membuat saya meneteskan air mata. Karena Jeep tua itu membuat sejarah dalam hidup Papa. Ketika hubunganku demikian  dekatnya dengan Papa, saat  memperbaiki Jeep tua kesayangan Papa. kepergian Papa sudah membawa juga kehangatan keluarga kita tercinta ini. Rumah ini juga sepih hanya ditinggali oleh Tory dan satu anaknya. Perasaan saya sedih sekali. Saya datang ke pusara Papa sambil membawa buku ini. Ingin menuliskan perasaan hatiku dipagi ini. Kutulis semua ini di pusara Papa dengan sepuluh batang lilin yang terus menyalah. Kubayangkan pula bahwa lilin-lilin  akan terbakar habis. Menggambarkan kehangatan dan sinar dari lilin, akankah hidupku juga seperti  lilin ini?

Kubayangkan kenangan lalu di tahun 1966, waktu pulang libur. Papa dan Mama masih tinggal di sawah. Pulangku dari libur diantar dengan kuda dan Papa berjalan disampingnya. Keadaan di sawah adalah gambaran kemiskinan, makan menggunakan tempurung kelapa,  namun kesusahan itu bahkan lebih membuat Papa den Mama mencintai kita, hingga akhir hayat.

Kuingat tahun 1970, waktu kembali dari sekolah, siap untuk kerja. Papa dan Mama bangga menyambutku pulang.  Kuingat saat bahagiaku menjelang berumah tangga, menikahi Mintje tahun 1973. Kukatakan kepada Papa niatku, Papa menyerahkan sepenuh pada pilihanku yang terbaik.

Kuingat lagi tahun 1982, peristiwa yang sangat membuat Papa marah karena kujual rumah dan tanah di Tubakioan kepada yang Papa tidak berkenan. Walaupun masih marah tetapi Papa mengampuni dan memaafkan, dengan ikhlas. Air yang Papa doa kan dan diminum dulu, kami minum juga pertanda ampun yang kuterima. Ku ingat tahun-tahun menjelang Papa meninggal, setiap tahun kupulang pada tahun baru Imlek. Ikatanku dengan Papa semakin erat. Puncaknya adalah  tanggal 8 Februari 1989, Papa mengantar saya pulang ke Jawa dan tidur satu tempat tidur, hal yang tidak terjadi selama puluhan tahun. Saya menyesal sekali, mengapa ketika tidur dengan Papa tidak kupeluk Papa.

Memang akhirnya penjualan tanah dan rumah itu saya batalkan. Sekarang kurenungkan kembali, kejadian menjual rumah adalah soal harga diri Papa, bila tidak dibatalkan, saya bisa menjadi anak durhaka. Maka setelah saya istri dan anak-anak pulang Timor dan minta ampun kepada Papa pada Imlek tahun 1982, dengan berlutut beriringan mendekati Papa, mencium lutut dan memeluk Papa,  sungguh suasana mengharukan yang melegahkan diliputi tangis semua anggota keluarga.  Puji dan Syukurku kepada Allah yang telah menuntunku selama ini.

 O selesai sudah hubungan keduniaan dengan Papa; karena 2 malam kemudian telegram, datang bagaikan halilintar, Papa meninggal dunia 10 Februari 1989.

Ketika wafatnya, Papa hanya ditemani oleh dua anak, lain anak  jauh dari Papa dan Mama. Yang mendampingi Papa ialah anak paling besar aci Fie dan paling kecil Emi.  Sampai disini saya menjadi sangat sedih, karena sebagai anak saya belum berbuat banyak untuk membalas kebaikan orang tuaku, khususnya Papaku. Semasa hidup Papa telah berbuat banyak untuk membesarkan saya, tetapi tidak ada yang kuberikan kepada Papa di masa tua.  Benar kata pepatah, orang tua ingat anaknya sampai mati, tetapi anak baru ingat orangtua ketika orangtua sudah meninggal dunia. Hai bangku merah........kau meninggalkan saya sendiri dalam suasana kesedihan yang mendalam.

Kepulanganku ke Timor, terkadang lupa membawa pulang kemejaku ke Jawa. Tahun depan kemejaku dipakai oleh Papaku. Rasanya sedih sekali, sedih. Dulu kita anak-anak orangtua belikan yang baru, sekarang kusaksikan Papaku memakai bekasku. Dulu, setiap permintaan kita spontan dicarikan, sekarang  anak, suka menunda bahkan akhirnya lupa akan apa yang diminta orang tuanya.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kismis Dry Gin Obat Lutut Sakit

Tiga tahun lalu saya merasa ada yang tidak beres pada lutut.Pikirku paling setelah digoyang goyang akan beres. Ketika berada di Purwokerto, saya jalan pagi, semakin jauh semakin sakit akhirnya trauma tidak berani jalan pagi lagi. Setahun lebih saya tidak berani jalan pagi. Sampai oktober 2010 ada email dari Bapak FX Benny Setiawan.  From: Komunikasi_KAS@yahoogroups.com [mailto:Komunikasi_KAS@yahoogroups.com] On Behalf Of FX. Benny Setiawan Sent: Thursday, October 28, 2010 12:42 PM To: Komunikasi_KAS@yahoogroups.com Subject: [Kom-KAS] Info kesehatan... Resep manjur untuk rheumatik.  Teman saya baru pulang dari berjalan-jalan, bercerita tentang teman serombongan yang menggunakan resep ini, hasilnya sangat bagus. Sekarang dirinya tidak perlu makan obat glucosamine lagi, bahkan berhenti makan obat osteoporosis.  Saya juga pernah membaca di Harian Shi Jie Ri Bao ada orang menulis tentang kesaksian akan keberhasilan resep ini. Secara khusus saya mencari data di jaringan maya, tern

Pengabdian Seorang Koster

“Suatu saat saya minta tolong pak Haryono agar buatkan beberapa rosario . Setelah selesai, ia menyerahkan kepada saya sambil mengatakan maaf romo Bi, mungkin rosarionya kurang rapih. Waktu saya tanya biayanya berapa ia menjawab 'sembah bekti mawon romo” ungkap romo H Subiyanto. DW. Pr pada saat merayakan Ekaristi Kudus bulanan untuk karyawan Katedral. Bertepatan pula, hari itu Bapak Rafael Haryono pension sebagai koster Katedral KA Semarang. Hal yang sama juga pernah dialami romo Sukardi pr, romo Paroki Randusari Semarang. Ia hanya minta dibayar dengan doa saja” demkian rama Soebiyanto mengawali khotbahnya. Rafael Haryono lahir di Sendangsono, 21 Pebruari 1947 dari keluarga sederhana. Ia semula dibawa oleh romo G Natabudyo pr ke Semarang . Mulai bekerja sebagai pegawai di pasturan pada 30 Desember 1969 dan, baru 2 tahun kemudian ditunjuk menggantikan koster lama yang mengundurkan diri. Suami dari Katarina Nurpini Dwiprihatin mengalami pergantian banyak r

Doa Setelah Komuni

Suatu ketika saya bertanya kepada seorang pemuda, apa doanya setelah menerima Sakramen Maha Kudus, ia hanya menjawab dengan senyuman. Sepertinya ia mengharapkan apa sesungguhnya yang saya lakukan setelah menerima sakramen maha kudus (SMK). Penerimaan SMK merupakan peristiwa yang sangat penting dalam hidupku dan itu terjadi pada tahun 1956. Sejak habis dibatis dengan nama Tarsisius yang sangat merindukan menyambut Tubuh Yesus. Untuk bisa menerima SMK kami menerima pelajaran cukup lama dari Bapak Rafael Parera Almarhum. Ia seorang guru SR kelas 1 dan 2, merangkap guru agama serta juga menenjadi bapak permandian saya. Ketika itu orang tua kami, papa dan mama belum sebagai pengikut Kristus. Dalam keluarga kami, kami anak-anak semua sudah di babtis lebih dahulu baru kemudian bapak. Mama sendiri sudah lebih dahulu dibabtis sebagai pengikut gereja Protestan. Namun sejak kami anak-anak semuanya menjadi Katolik, mama kemudian menemani kami 10 anaknya dan bapak di Gereja Katolik. Saya ma