Pada usia 74 tahun, mama masih kuat dan pada Minggu Palem 2000, mama berangkat sendiri dari Kupang mau ke Malang dan mampir di Denpasar Bali, karena waktu itu Tjuk sedang berada di Denpasar. Mama ke Malang, untuk menunggu kelahiran cucu, anak dari Emi, anak bungsu mama. Hati Mama diliputi kegembiraan. Saya yang waktu di Semarang, mengetahui mama di Denpasar karena berita mama setelah menerima berita bahwa Mama menderita sakit stroke, sedang di rumah sakit dan tidak sadarkan diri.
Mendengar berita itu, hatiku sedih sekali. Membayangkan Mama dalam kondisi payah. Dihinggapi berbagai pikiran, apakah mama akan pulih kembali atau inilah saatnya mama akan meninggalkan kami semua anak anak. Ketika tiba di Denpasar banyak saudara sudah hadir, ada aci Fie, suster Marilaeta, ade Kon dan Anna. Melihat mama terbaring tidak reaksi, spontan saya menangis, memeluk mama. Pilu rasanya, ketika mama tidak membalas sapaanku.
Besoknya ketika memandikan mama, saya ikut memandikan, kucium mama dari kaki sampai ke kepalanya. Waktu sampai di perutnya saya katakan, mama selama 9 bulan lebih saya mendiami “rumah” paling nyaman yaitu di perut mama. Saya tidak bisa berlama lama di Denpasar karena harus kembali untuk bekerja.
Beberapa bulan kemudian saat mama mau pulang Timor, saya datang mengunjungi mama di Denpasar. Mama sudah bisa bicara dan berjalan dengan menggunakan tongkat. Ketika melihat saya datang mama senang sekali. Kali ini juga saya tidak lama, karena harus kembali untuk bekerja di Semarang. Waktu hendak berangkat ke lapangan udara, kucium kaki dan kupeluk mama, kukatakan bahwa mohon maaf tidak bisa mengantar pulang mama ke Timor. Langsung pamit, dan kulihat mama melambaikan tangan lewat jendela, hatiku sedih mengenangkan peritiwa itu.
Momentum momentum seperti itu membuat saya sangat merindukan mama. Hati selalu diliputi perasaan was was. Sesewaktu bisa ada berita duka mengingat tinggalku jauh dirantau, jauh dari Oelolok, di mana mama tinggal. Hal itu benar terjadi, ketika pada tanggal 10 Pebruari 1989, papa meninggal dunia, tepat dua hari setelah saya pulang dari Timor untuk acara Imlek.
Untuk mengobati rasa rindu itu, pada bulan Nopember 2001, dalam sebuah pelatihan di Ambarawa, saya membuat pernyataan pribadi. “Hatiku sangat merindukan mama, kuingin pada tahun ini pulang ke Timor, tidur dengan mama dan memeluknya. Mamaku yang sangat kusayangi” Benar hal itu terjadi, pada Imlek 2002, saya pulang dan mama sedang berada di Kupang menanti kepulanganku.
Dari Kupang kami di jemput Kiu Hok dan malamnya menginap di Rumah Dinas Kiu Hok dan Ros di Soe. Malam itu saya tidur dengan mama. Ku usahakan untuk melingkarkan tanganku untuk memeluk mama. Awalnya terasa canggung, tetapi setelah beberapa kali, terasa nyaman dan menghangatkan. Sejak itu, ada kesempatan pulang ke Timor, saudara saudaraku selalu memberi kesempatan kepadaku untuk memeluk mama dan tidur bersama mama sayangku.
Tanggal 6 Pebruari 2008, pagi pagi datang berita dari Ros, mengabarkan mama (82) sesak napas, kondisinya sangat melelahkan. Desa kecil di pedalaman Timor jauh dari Fasilitas rumah sakit khususnya untuk mendukung pengobatan darurat seperti O2, maka mama dibawa ke Kefamenanu oleh sopir Anyi Kiu Kiupukan. Orang yang sangat berbaik hati membantu mama dan keluarga kami. Ketika mencapai Maubesi saya mencoba menghubungi Ros, mengabarkan mama baik dalam posisi duduk. Setiba di Kefa langsung mendapat O2, selang berapa waktu mama menjadi sehat.
Hari itu, Atik (putri saya) dan Ahoi (menantu) sudah memesan kamar di rumah sakit umum daerah Kefamenanu TTU. Mendapat pavilium yang cukup baik untuk ukuran kota kecil di pedalaman pulau Timor. Dari Kupang Ani, adik saya minta langsung dibawa saja ke Kupang, namun dokter menasehati agar istirahat dulu karena tekanan darah mama 110 dan 190. Besok paginya Ani dan ci Fie datang dari Kupang, hari itu hari raya Imlek. Suasana di RS menjadi ramai karena banyak anak dan cucu serta keluarga dekat datang menjenguk mama.
Hari Jumat malam jam 19:30, saya menerima berita, kondisi mama sedang payah dan minta saya sempatkan melihat mama. Yah, dari Semarang, jarak demikian jauhnya, saya tak berdaya. Hati ini terasa hilang, perasaan berbaur bermacam-macam dugaan. Usia tua dan kondisi terakhir ini membuat saya putusan untuk segera mencari tiket ke Kupang. Penerbangan Semarang ke Kupang bisa menggunakan Sriwijaya airline, dengan harga tiket Rp. 798.000. Lumayan mendapat tiket rada murah.
Pagi itu saya sempat kawatir, karena hujan lebat semalaman bisa membuat penerbangan batal atau dilay. Untung tidak ada kendala, diantar isteri saya jadi berangkat jam 08:30, kemudian melanjutkan juga menggunakan Sriwijaya dari Surabaya dan tiba di Kupang jam 13:30 WIT. Tidak ada yang menjemput, sehingga saya bermaksud menumpang kendaraan umum. Sangat beruntung, pater Jhon Gualbert Salu SVD, yang mau menjemput seorang kenalannya yang baru pindah dari Jakarta ke Kupang, namun ia sudah di jemput oleh kesatuannya. Jadilah saya diantar romo Jon, sampai ke rumah sakit.
Ceritera pater John, paginya sempat ikut memindahkan mama dari rumah sakit tentara ke rumah sakit umum YWZ Johanes Kupang. Ketika itu hujan sangat lebat, sehingga kami mencari jalan pintas, lewat kamar jenazah. RSU yang sedang direnovasi besar besaran membuat kami melewati jalan sempit, gang dan akirnya sampai di kamar nomer 16.
Perasaan saya sedih dan terharu, melihat mama terbaring, sambil selang O2 dan infus ada tertancap pada tubuhnya. Mama tidak kurus, bahkan bisa disebut gemuk. Keadaan ini membuat mama susah bangun dan harus dibantu saudara saudara. Banyak orang berada dalam ruangan itu, karena sakitnya orang tua maka banyak yang ingin menyatakan perhatiannya.
Keluarga kami, keluarga yang dekat dengan biarawan maupun biarawati, maka terus saja ada imam, suster yang datang berdoa untuk mama. Sabtu itu mama nampaknya cukup kuat, hanya gelisah minta mau pulang ke rumah. Saya dekat dan memegang tangan mama, dan bicara sambil menempelkan mulut ke telinga mama, karena kemampuan pendengaran mama sangat berkurang. Mama juga sudah susah mengenali orang, ketika saya datang lama dan setelah berulang kali diingatkan baru mama menyebut nama saya....Keu nama ungkapan kata yang paling mesah yang pernah kudengar dari papa dan mama.
Walau mama dalam kondisi lemah, mama tetap tidak suka menggunakan pempers karena katanya risi dan gatal, sehingga terus berontak minta ke kamar mandi, padahal kondisi ini tidak memungkinkan, mama sudah sangat lemah, untuk bangun saja harus dibantu orang lain. Sampai pagi kakak Maria duduk di dekat tempat tidur, saya, Ros dan Ani penunggu mama di ruangan pasien. Kami tidur, seperti tidur ayam, sebentar sebentar bangun. Karena hari itu hari minggu, pagi pagi saya minta untuk menghadiri perayaan ekaristi di Katedral Kupang. Namun baru saja duduk tidak lebih dari 5 menit dan, misa belum di mulai ada bunyi hp, beritanya mama anfal. Maka saya tidak jadi ikut perayaan misa dan segera beranjak ke rumah sakit.
Mama duduk, napas sesak, Ros yang pertama mendapatkan mama sesak sempat panik karena sesak yang luar biasa, akhirnya mama menjadi lemah. Kondisi menjadi lebih baik, setelah kadar O2 dinaikan. Lalu sepanjang hari mama sehat lagi. Sore hari, mama mengeluh jarum infus membuat nyeri di tangannya, mama tak dapat bicara tetapi kami anak-anak merasakan mama sedang merasakan sakit. Akhirnya perawat datang memindahkan jarum inpus ke tangan lainnya.
Malam itu suasana kamar no 16 ini ramai sekali. Ada sejumlah banyak suster, datang bersama suster Yosefin SSpS. Mereka mengajak mama untuk berdoa rosario, sambil kakak berdoa di telingan mama, sehingga sesekali mama mengucapkan ...Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertaMu...... dengan suara sangat lirih. Sampai peritiwa ke tiga saya melihat mama sudah kepayahan, akhirnya doa dihentikan, dan mama istirahat.
Mama menjadi bersemangat lagi karena ada berita dari romo Octa Naif Pr, bapak Uskup Atambua, Mgr Dominicus Saku mau menjenguk mama di rumah sakit. (Beliau datang karena pada hari Senin nanti akan memberikan mata kuliah filsafat di Seminari Tinggi Kupang). Akhirnya Bapak Uskup datang, dan kami semua ada kakak Maria, Ros, Ani dan beberapa tamu berdoa bersama. Bapak Uskup mengungkapkan kuasa khususnya sebagai Uskup memberkati mama. Saya berlutut mengikuti upacara yang jarang saya saksikan itu.
Selama duduk di samping mama, Bapak Uskup selalu mengenggam tangan mama, sepertinya memberikan, atau menyalurkan kekuatan agar mama sehat kembali. Malam itu, kami juga menunggu adik suster Marileta SSpS, yang datang dari Lalurus. Sudah kami beritahukan bahwa mama sudah membaik, tetapi ia tetap mau datang, karena katanya "hati sonde enak" Kendati ia mesti harus pulang dan kemudian datang kembali minggu depan ke Kupang, hari Minggu tanggal 17 Pebruari.
Sepanjang hari Senin, mama sehat, sehingga saya minta pulang Semarang pada Selasanya. Kakak Maria sudah menyiapkan kamar di rumahnya, dilengkapi dengan AC dan tabung O2 yang dipinjamkan oleh orang berbaik hati di Kupang. Kakak Maria, yang saat ini suka saya katakana sebagai koster Katedral Kupang, memang terkenal di Kupang sebagai pelayan yang melayani umat maupun para imam dan suster.
Selasa pagi saya siap untuk pulang, jam 4 saya sudah bangun dan tepat jam 05.00 saya mendekati ranjang mama. Saya menyingkirkan sedikit selimut, sambil berdoa saya mencium kaki mama. Mama berdoalah untuk kami anak-anak. Inilah kebiasaan saya ketika pamit kepada mama. Kalau mama sehat selalu minta waktu untuk mencium kaki mama. Bahkan pernah saya mau mencuci kaki mama dan meminum airnya tetapi mama tidak berkenan. Sebagai anak saya akui banyak kesalahan, tidak merawat mama sebagaimana mestinya. Tetapi mama pasti selalu memaafkan saya.
Akhirnya berita sedih itu datang juga. Jumat 14 Oktober 2011, satu hari sebelum saya pulang Timor. Di ujung telepon, romo Octo Naif Pr, yang sedang mendampangi mama di rumah Ani, mengabarkan, “Ako datang sudah sepertinya mama sudah tidak bisa bertahan lama lagi” kata romo. Saya masih sempat minta tolong, agar romo sampaikan kepada mama, tunggu, saya pulang besok pagi. Namun hanya selang 5 menit, sekali lagi romo Octo mengabarkan “Ako mama sudah pulang ke rumah Bapa”
Walau sudah menyadari mama akan pulang ke rumah Bapa, tetapi berita ini tetap menyedihkan. Sebuah perpisahan abadi di dunia. Saya tidak akan mendengar panggilan mesra suara mama “Keu” lagi. Kalaupun saya masih bisa mendengar suara mama, dari banyaknya video yang saya buat, tetapi suara ini tidak memberikan kehangatan dan kelembutan, seperti ketika saya tidur dan memeluk mama. Tidak ada lagi doa mama, pagi, jam 3 sore dan malam yang menyebut mana kami anak anak.
Peristiwa pulangnya mama ke rumah Bapa, adalah peritiwa iman. Kami anak anak sungguh percaya itu. Kami semua menyadari mama akan pulang ke rumah Bapa. Peti jenasah telah disediakan. Doa anak anak memohonkan yang terbaik bagi mama. Ani, anak yang lama merawat mama dengan kasih sayang pada saat saat akhir hidup mama, selalu berdoa di samping mama. Pada saat mama sesak, Any membisikan ke telinga mama, mama selamat jalan, malaekat dan Tuhan Jesus sudah menyambut mama. Suster dan romo Octo Pr, terus berdoa melepas kepergian mama ke rumah Bapa. Romo Octo mengatakan: “Mama menarik napas dua kali dan yang kedua seperti hembusan halus yang keluar dari mulut mama” Herannya, tangan kanan mama yang selama ini berat untuk diangkat, pada detik terakhir itu, terangkat ke atas. Apakah menyambut tangan Tuhan Jesus atau mengucapkan selamat tinggal kepada kami semua anak cucu dan cicitnya. Di ceriterakan kembali oleh Any.
Ketika malam Sabtu tanggal 15 Oktober saya tiba, cepat kudatangi peti jenasah, berlutuh dan menundukan kepalaku sampai ke tanah untuk mengenang mamaku tercinta. Ku naiki sebuah kursi, dan mencium mamaku yang sudah berada dalam peti jenazah. Selamat jalan mama, doakan kami yang masih berziarah, selamat akan perjamuan kudus bersama para malaekat dan orang kudus di sorga. Kubisikan ke mamaku, selamat jalan Mama tercinta, tempatmu bersama Bapa di Surga. 85 tahun merupakan karunia bagi kami anak anak, 63 tahun mama membesarkan saya. Terima kasih mama, sampai jumpa di rumah Bapa.
Parayaan ekaristi mengantar mama ke tempat peristirahatan, dihadari banyak tamu, pastor bruder dan suster dipimpin bapak Uskup Atambua Mgr Dominicus Saku Pr dan dihadiri uskup Emiritus, bapak uskup Anton Pain Ratu SVD. Beberapa dari hadirin yang datang adalah dari kalangan orang tua, bahkan Jap Hau Su, yang sudah lebih dari 70 tahun tidak pernah melihat mama dan ketika melihat mama di peti jenazah berkomentar: “Mama kamu itu dulu pemain sandiwara dan cantik”
Kami semua mencintai Mama, Popo dan Potae. Sebuah surat sarat dengan ungkapan kasih oleh salah seorang cucu, Ronny Djiuwardi.
Untuk popo tersayang, suri tauladan yang terbentuk oleh doa dan perbuatan
Kehilangan orang yang saya cintai bukan hanya terjadi pada saat sekarang, saat popo meninggalkan kita semua. Saya sudah mengalami beberapa kali "kehilangan" yang menyakitkan, terutama kehilangan seorang papa.
Merasakan betapa tidak enaknya ditinggal seorang ayah dan kadang saya masih merindukannya, bahkan hanya untuk melihatnya dalam mimpi saya sudah sangat gembira. Saya hanya bisa trenyuh kadang kala adik saya menuangkan kerinduan kepada papa dalam jejaring sosial Facebook, maklum papa meninggalkan kita sewaktu adik masih kecil, sekitar umur 10 tahun. Tetapi perasaan kehilangan itu akan terus selalu muncul berulang-ulang jika kita kehilangan orang yang kita cintai,dan tidak seberapa sering kita mengalami peristiwa kehilangan itu,karena perasaan ditinggalkan seumur hidup adalah perasaan yang tidak nyaman.
Renungan ini bermula ketika saya melihat mama saya dan ji besa (kakak perempuan dari mama) yang duduk di depan mobil jenasah Timor Travel yang akan mengantarkan popo (nenek) kembali ke Oelolok tanggal 15 Oktober 2011, pagi. Saya melihat mama duduk di sebelah ji besa dan menangis sejadi jadinya. Mungkin saya bisa menebak kira-kira apa yang berkecamuk dalam perasaan mama.
Biasanya kami selalu mengantar popo dalam keadaan hidup dan sehat kembali ke Oelolok (tempat popo tinggal), dan kemudian kembali lagi ke Kupang. Berkali - kali dan menjadi suatu kebiasaan bila melihat popo duduk di tengah mobil memakai jaket dan penutup kepala bersama mama. Saya duduk di depan bersama Om Ruben (saudara kami yang setia) dan sesekali kami bersendau gurau dalam perjalanan. Perjalanan ke Oelolok selalu menyenangkan kami semua, karena memang udara di sana sejuk dan bersih,tidak seperti di Kupang yang sudah tercemar polusi.
Mama menyiapkan bantal, makanan, minuman, macam-macam...bahkan sering kapasitas mobil tidak mencukupi karena terlalu banyak bekal yang harus dibawa. Biasanya popo yang duduk di tengah bersama mama, sering sekali diajak mama untuk menyanyikan lagu Titik Sandora yang menjadi kesukaan mereka berdua. Dalam perjalanan mama selalu mengajak popo bicara dan popo selalu menjawab dengan keterbatasannya karena pendengarannya mulai berkurang. Kejadian ini selalu dan selalu berulang sehingga sulit bagi saya sampai detik ini untuk melupakan memori ini...kenangan yang indah.
Tapi sekarang keadaan telah berubah, popo kembali ke Oelolok dalam keadaan "tidur" bukan sehari, bukan pula seminggu tapi untuk selamanya. Tidak ada lagi suara nyanyian dari popo didalam mobil. Mungkin hal yang sama juga dirasakan dalam pikiran mama, sehingga membuat mama menangis hebat dalam mobil yang mengantar popo kembali ke tempat peristirahatan terakhir.
Saya sendiri menangis dua kali, yang pertama pada tanggal 14 Oktober 2011 pagi-pagi sekitar jam 7 pagi ketika pintu kamar saya diketuk oleh sopir saya yang mengabarkan untuk menjenguk popo di kamar sebelah...mungkin itu dapat disebut saat-saat kritis...yang kedua,...saat sekarang, saat saya di depan layar komputer di dalam kamar komputer membuat tulisan singkat ini. Di mana kamar popo menghembuskan napas terakhir, di mana setiap hari saya melihat kesetiaan mama dan orang-orang yang melayani popo sampai detik terakhir. Dalam kamar ini masih segar ingatan saya popo duduk dan memukul -mukulkan tangannya di tempat tidur dan terkadang dengan suaranya yang lemah memanggil "Yuli,Yuli..." (Yuli adalah perawat popo,dan meski Yuli tidak bekerja merawat popo lagi. Setiap dari mereka selalu dipanggil Yuli oleh popo).
Semua memori tentang popo akan selalu tersimpan dalam diri saya. Tidak ada lagi suara bergumam yang tidak jelas dari popo, tidak ada lagi pampers yang tergeletak di tempat tidur, tidak ada lagi "kesibukan" di pagi hari yang suatu saat kami akan merindukan, tidak ada lagi segelas teh manis dan roti manis untuk popo di sore hari. Semua kenangan-kenangan itu sampai detik ini masih terbayang jelas dalam pikiran saya.
Kadang saya bertanya dalam hati apakah hal seperti ini termasuk kita tidak mengikhlaskan popo? Secara sadar mungkin kita berkata ya, kami ikhlas karena itu memang yang terbaik buat popo, tetapi secara tidak sadar saya masih ingin melihat popo lebih lama lagi di kamar ini. Duduk disebelahnya meski barang semenit atau dua menit. Meskipun popo hanya duduk di kursi roda dan saya kadang hanya mengucapkan selamat pagi,selamat sore...tapi semua itu mempunyai arti tersendiri, arti yang dalam buat saya. Kadang saat popo tidur siang saya selalu mengintip lewat jendela kamar untuk memastikan apa popo sudah bangun atau belum. Hal-hal demikian kecil ini yang menurut saya benar-benar kenangan terindah.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati meninggalkan nama dan kenangan baik selama dia hidup di dunia. Popo tidak meninggalkan warisan banyak...rumah, uang, perhiasan atau materi lainnya, tapi popo meninggalkan amal kasih dan perbuatan selama hidup yang bisa kita jadikan suri tauladan. Kebaikan hati seorang popo membuat saya enggan melupakan kenangan terindah itu...
Saya yang belum "makan asam-garam" dalam kehidupan ini mendapat banyak pelajaran berharga dari peristiwa-peristiwa diatas,,,terutama pelajaran tentang Kesetiaan..
Pertama, popo adalah seorang pendoa rendah hati yang setia berdoa sampai akhir hayat nya. Pendoa dalam arti, benar-benar orang yang selalu bersandar pada Tuhan. Dalam setiap doanya, nama kami para cucu, selain anak juga disebut...seperti sebuah lirik lagu "...di Doa Ibu ku,nama ku di sebut..." Ketika popo masih sehat, setiap untai doa Salam Maria diucapkan dengan baik dan tak mengalami kesulitan. Seiring bertambahnya usia dan menurunnya kesehatan, popo sudah tidak bisa mengucapkan doa Salam Maria secara baik. Tetapi saya yakin, seyakin-yakinnya Tuhan tahu akan hal ini, bukan karena faktor kesengajaan tetapi memang faktor alamiah.
Disamping itu popo dengan kasih setianya juga membesarkan anak-anaknya dengan segala kekurangan. Benar-benar suri tauladan buat kami, yang entah saya bisa meneladaninnya atau tidak,tetapi saya akan mencoba...
Kedua, mama saya...saya salut atas kesetiaan beliau selama hidup untuk merawat keluarga kami. Sedari papa sampai ke popo yang terakhir ini. Mama Ani, baik atau buruknya akan selalu tetap menjadi mama saya. Semoga Tuhan mendengarkan doa saya. Kupang,17 Oktober 2011
Komentar