Tanggal 6 Pebruari, pagi pagi adik Ros yang menunggui mama di Oelolok mengabarkan mama (82) sesak napas, kondisinya sangat melelahkan. Desa kecil di pedalaman Timor jauh dari Fasilitas rumah sakit khususnya untuk mendukung pengobatan darurat seperti O2, maka mama dibawa ke Kefamenanu oleh sopir Anyi Kiu Kiupukan. Orang yang berbaik hati membantu mama. Ketika mencapai Maubesi saya mencoba menghubungi Ros, mengabarkan mama baik dalam posisi duduk. Setiba di Kefa langsung mendapat O2, selang berapa waktu mama menjadi sehat.
Hari itu, Atik (putri saya) dan Ahoi menantu sudah memesan kamar di rumah sakit, mendapat pavilium yang cukup baik untuk ukuran kota kecil di pedalaman pulau Timor. Dari Kupang Ani, adik saya minta langsung dibawa saja ke Kupang, namun dokter menasehati agar istirahat dulu karena tekanan darah mama 110 dan 190. Besok paginya Ani dan kakak Fie datang dari Kupang, hari itu hari raya Imlek. Suasana di RS menjadi ramai karena banyak anak dan cucu serta keluarga dekat datang menjenguk mama.
Hari Jumat malam jam 19:30, saya menerima berita, kondisi mama sedang payah dan minta saya sempatkan melihat mama. Yah, dari Semarang, jarak demikian jauhnya, saya tak berdaya. Hati ini terasa hilang, perasaan berbaur bermacam-macam dugaan. Usia tua dan kondisi terakhir ini membuat saya putusan untuk segera mencari tiket ke Kupang. Penerbangan Semarang ke Kupang bisa menggunakan Sriwijaya airline, dengan harga tiket Rp. 798.000. Lumayan mendapat tiket rada murah.
Pagi itu saya sempat kawatir, karena hujan lebat semalaman bisa membuat penerbangan batal atau dilay. Untung tidak ada kendala, diantar isteri saya jadi berangkat jam 08:30, kemudian melanjutkan juga menggunakan Sriwijaya dari Surabaya dan tiba di Kupang jam 13:30 WIT. Tidak ada yang menjemput, sehingga saya bermaksud menumpang kendaraan umum. Sangat beruntung, ada pater Jon SVD, ia sebenarnya mau menjemput seorang kenalannya yang baru pindah dari Jakarta ke Kupang, namun ia sudah di jemput oleh kesatuannya. Jadilah saya diantar romo Jon, sampai ke rumah sakit.
Paginya romo, sempat ikut memindahkan mama dari rumah sakit tentara ke rumah sakit umum YWZ Johanes Kupang, sehingga mudah bagi saya menemui Mama. Hujan sangat lebat, sehingga kami mencari jalan pintas, lewat kamar jenazah. RSU yang sedang direnovasi besar besaran membuat kami mencari jalan sempit, gang dan akirnya sampai di kamar nomer 16.
Perasaan saya sedih, melihat mama terbaring, sambil selang O2 dan infus ada tertancap pada tubuhnya. Mama tidak kurus, bahkan bisa disebut gemuk. Keadaan ini membuat mama susah bangun dan harus dibantu saudara saudara. Banyak orang berada dalam ruangan itu, karena sakitnya orang tua maka banyak yang ingin menyatakan perhatiannya.
Keluarga kami, keluarga yang dekat dengan biarawan maupun biarawati, maka terus saja ada imam, suster yang datang berdoa untuk mama. Sabtu itu mama nampaknya cukup kuat, hanya gelisah minta mau pulang ke rumah. Saya dekat dan memegang tangan mama, dan bicara sambil menempelkan mulut ke telinga mama, karena pendengaran mama sangat merosot. Mama juga sudah susah mengenali orang, ketika saya datang lama dan setelah berulang kali diingatkan baru mama menyebut nama saya.... keu..........
Mama tidak suka menggunakan pempers karena risi dan gatal, sehingga berontak minta ke kamar mandi, padahal kondisi ini tidak memungkinkan, mama sudah sangat lemah, untuk bangun saja harus dibantu orang lain. Sampai pagi kakak Maria duduk di dekat tempat tidur saya dan adik berikut dua putri penunggu mama berada di ruangan ini. Kami tidur, seperti tidur ayam, sebentar sebentar bangun. Karena hari minggu, pagi itu saya minta untuk menghadiri perayaan ekaristi di Katedral Kupang. Baru duduk tidak lebih dari 5 menit, misa belum di mulai ada bunyi hp pada ipar, ada berita mama anfal. Maka saya tidak jadi ikut perayaan misa dan segera ke rumah sakit.
Mama duduk, napas sesak, adik yang pertama mendapatkan mama sesak sempat panik karena sesak yang luar biasa, akhirnya mama menjadi lemah. Kondisi menjadi lebih baik, setelah kadar O2 dinaikan. Lalu sepanjang hari mama sehat lagi. Sore hari, mama mengeluh jarum infus membuat nyeri di tangannya, mama tak dapat bicara tetapi kami anak-anak merasakan mama sedang merasakan sakit. Akhirnya perawat datang memindahkan ke tangan lainnya.
Malam itu suasana kamar no 16 ini rame sekali. Ada sejumlah suster bersama suster Yosefin mereka mengajak mama berdoa rosario, sambil kakak berdoa di telingan mama, sehingga sesekali mama mengucapkan ...Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertaMu...... dengan suara sangat lirih. Sampai peritiwa ke tiga saya melihat mama sudah kepayahan, akhirnya doa dihentikan, dan mama istirahat.
Mama menjadi bersemangat lagi karena ada berita dari romo Octa, bapak Uskup Atambua mau menjenguk mama di rumah sakit. (Beliau datang karena memberikan mata kuliah filsafat di seminari tinggi Kupang). Akhirnya Bapak Uskup datang, kami semua ada, kakak Maria, Ros, Ani dan beberapa tamu. Bapak Uskup menggunakan kuasanya sebagai Uskup memberikan berkat khusus kepada mama, saya berlutut mengikuti upacara yang jarang saya saksikan itu. Selama duduk di samping mama, Bapak Uskup selalu mengenggam tangan mama, sepertinya memberikan, menyalurkan kekuatan agar mama sehat kembali. Malam itu, kami juga menunggu adik suster Marileta SSpS, yang datang dari Lalurus. Walaupun sudah kami kabarin mama membaik, tetapi ia tetap mau datang, karena katanya "hati sonde enak" walaupun ia mesti datang lagi ke Kupang hari Minggu tanggal 17 Pebruari.
Sepanjang hari Senin, mama sehat, sehingga saya minta pulang Semarang pada Selasanya. Kakak sudah menyiapkan kamardi rumahnya, dilengkapi dengan AC dan pinjaman O2 dari orang berbaik hati di Kupang. Kakak Maria terkenal di Kupang sebagai pelayan yang melayani umat maupun para imam dan suster.
Selasa pagi saya siap untuk pulang, jam 4 saya sudah bangun dan tepat jam 05.00 saya mendekati ranjang mama. Saya menyingkirkan sedikit selimut, sambil berdoa saya mencium kaki mama. Mama berdoalah untuk kami anak-anak.
Hari itu, Atik (putri saya) dan Ahoi menantu sudah memesan kamar di rumah sakit, mendapat pavilium yang cukup baik untuk ukuran kota kecil di pedalaman pulau Timor. Dari Kupang Ani, adik saya minta langsung dibawa saja ke Kupang, namun dokter menasehati agar istirahat dulu karena tekanan darah mama 110 dan 190. Besok paginya Ani dan kakak Fie datang dari Kupang, hari itu hari raya Imlek. Suasana di RS menjadi ramai karena banyak anak dan cucu serta keluarga dekat datang menjenguk mama.
Hari Jumat malam jam 19:30, saya menerima berita, kondisi mama sedang payah dan minta saya sempatkan melihat mama. Yah, dari Semarang, jarak demikian jauhnya, saya tak berdaya. Hati ini terasa hilang, perasaan berbaur bermacam-macam dugaan. Usia tua dan kondisi terakhir ini membuat saya putusan untuk segera mencari tiket ke Kupang. Penerbangan Semarang ke Kupang bisa menggunakan Sriwijaya airline, dengan harga tiket Rp. 798.000. Lumayan mendapat tiket rada murah.
Pagi itu saya sempat kawatir, karena hujan lebat semalaman bisa membuat penerbangan batal atau dilay. Untung tidak ada kendala, diantar isteri saya jadi berangkat jam 08:30, kemudian melanjutkan juga menggunakan Sriwijaya dari Surabaya dan tiba di Kupang jam 13:30 WIT. Tidak ada yang menjemput, sehingga saya bermaksud menumpang kendaraan umum. Sangat beruntung, ada pater Jon SVD, ia sebenarnya mau menjemput seorang kenalannya yang baru pindah dari Jakarta ke Kupang, namun ia sudah di jemput oleh kesatuannya. Jadilah saya diantar romo Jon, sampai ke rumah sakit.
Paginya romo, sempat ikut memindahkan mama dari rumah sakit tentara ke rumah sakit umum YWZ Johanes Kupang, sehingga mudah bagi saya menemui Mama. Hujan sangat lebat, sehingga kami mencari jalan pintas, lewat kamar jenazah. RSU yang sedang direnovasi besar besaran membuat kami mencari jalan sempit, gang dan akirnya sampai di kamar nomer 16.
Perasaan saya sedih, melihat mama terbaring, sambil selang O2 dan infus ada tertancap pada tubuhnya. Mama tidak kurus, bahkan bisa disebut gemuk. Keadaan ini membuat mama susah bangun dan harus dibantu saudara saudara. Banyak orang berada dalam ruangan itu, karena sakitnya orang tua maka banyak yang ingin menyatakan perhatiannya.
Keluarga kami, keluarga yang dekat dengan biarawan maupun biarawati, maka terus saja ada imam, suster yang datang berdoa untuk mama. Sabtu itu mama nampaknya cukup kuat, hanya gelisah minta mau pulang ke rumah. Saya dekat dan memegang tangan mama, dan bicara sambil menempelkan mulut ke telinga mama, karena pendengaran mama sangat merosot. Mama juga sudah susah mengenali orang, ketika saya datang lama dan setelah berulang kali diingatkan baru mama menyebut nama saya.... keu..........
Mama tidak suka menggunakan pempers karena risi dan gatal, sehingga berontak minta ke kamar mandi, padahal kondisi ini tidak memungkinkan, mama sudah sangat lemah, untuk bangun saja harus dibantu orang lain. Sampai pagi kakak Maria duduk di dekat tempat tidur saya dan adik berikut dua putri penunggu mama berada di ruangan ini. Kami tidur, seperti tidur ayam, sebentar sebentar bangun. Karena hari minggu, pagi itu saya minta untuk menghadiri perayaan ekaristi di Katedral Kupang. Baru duduk tidak lebih dari 5 menit, misa belum di mulai ada bunyi hp pada ipar, ada berita mama anfal. Maka saya tidak jadi ikut perayaan misa dan segera ke rumah sakit.
Mama duduk, napas sesak, adik yang pertama mendapatkan mama sesak sempat panik karena sesak yang luar biasa, akhirnya mama menjadi lemah. Kondisi menjadi lebih baik, setelah kadar O2 dinaikan. Lalu sepanjang hari mama sehat lagi. Sore hari, mama mengeluh jarum infus membuat nyeri di tangannya, mama tak dapat bicara tetapi kami anak-anak merasakan mama sedang merasakan sakit. Akhirnya perawat datang memindahkan ke tangan lainnya.
Malam itu suasana kamar no 16 ini rame sekali. Ada sejumlah suster bersama suster Yosefin mereka mengajak mama berdoa rosario, sambil kakak berdoa di telingan mama, sehingga sesekali mama mengucapkan ...Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertaMu...... dengan suara sangat lirih. Sampai peritiwa ke tiga saya melihat mama sudah kepayahan, akhirnya doa dihentikan, dan mama istirahat.
Mama menjadi bersemangat lagi karena ada berita dari romo Octa, bapak Uskup Atambua mau menjenguk mama di rumah sakit. (Beliau datang karena memberikan mata kuliah filsafat di seminari tinggi Kupang). Akhirnya Bapak Uskup datang, kami semua ada, kakak Maria, Ros, Ani dan beberapa tamu. Bapak Uskup menggunakan kuasanya sebagai Uskup memberikan berkat khusus kepada mama, saya berlutut mengikuti upacara yang jarang saya saksikan itu. Selama duduk di samping mama, Bapak Uskup selalu mengenggam tangan mama, sepertinya memberikan, menyalurkan kekuatan agar mama sehat kembali. Malam itu, kami juga menunggu adik suster Marileta SSpS, yang datang dari Lalurus. Walaupun sudah kami kabarin mama membaik, tetapi ia tetap mau datang, karena katanya "hati sonde enak" walaupun ia mesti datang lagi ke Kupang hari Minggu tanggal 17 Pebruari.
Sepanjang hari Senin, mama sehat, sehingga saya minta pulang Semarang pada Selasanya. Kakak sudah menyiapkan kamardi rumahnya, dilengkapi dengan AC dan pinjaman O2 dari orang berbaik hati di Kupang. Kakak Maria terkenal di Kupang sebagai pelayan yang melayani umat maupun para imam dan suster.
Selasa pagi saya siap untuk pulang, jam 4 saya sudah bangun dan tepat jam 05.00 saya mendekati ranjang mama. Saya menyingkirkan sedikit selimut, sambil berdoa saya mencium kaki mama. Mama berdoalah untuk kami anak-anak.
Komentar